"Bo, apakah menurutmu para tetua kolot itu menyatukan abu kita?"
Yibo mengangguk. "Tentu saja. Kamu lihat benang merah di jari kelingkingmu?"
"Mn, aku pernah berusaha untuk memotongnya. Tapi tak bisa."
"Tentu saja tak bisa. Selama abu kita masih bersatu, benang tersebut tidak akan bisa lepas."
Xiao Zhan menutupi matahari dengan tangannya. "Menurutmu, abu kita dilarung atau disimpan begitu saja?"
Yibo menaikkan bahunya. "Entahlah, memangnya kenapa?"
"Kamu tak tahu maknanya?"
Yibo menggeleng. "Tidak. Selama aku hidup, aku hanya memfokuskan diriku padamu."
"Sekarang kamu sudah mati. Jadi apakah kamu tidak memfokuskan dirimu padaku lagi?"
Percakapan itu canggung. "Kamu paham maksudku Zhan."
Tubuh yang dibakar terlebih dahulu tertawa. "Baiklah, kembali ke topik. Ada beberapa makna sebetulnya. Jika mayat kita dibakar, maka katanya dialam baka tubuh kita akan menyatu lagi. Berbeda jika ditanam dalam tanah, kalau kita mati dalam keadaan tak baik maka dipercaya di alam lain tubuh kita juga tak akan baik."
"Untung saja aku pernah berkata jika aku ingin dikremasi."
"Itu tak berbeda jauh. Kalau kita dibakar, maka 'tubuh' kita yang baru akan rapuh."
Mulut Yibo membentuk huruf 'o'.
"Jika abu kita dilarung, katanya kita bisa pergi ke mana-mana. Seperti sifat air, bebas. Namun, jika abu kita dilarung, kita akan susah mendengar doa orang. Sama seperti jika kamu tenggelam, kamu tak bisa mendengar karena gendangmu kemasukan air." Ia berhenti.
Zhan melanjutkan perkataannya. "Lalu jika abu kita dimasukkan dalam kendi dan dibiarkan --tidak ditanam atau larung-- maka kita tak bisa kemana-mana. Makannya selama lima tahun aku mati, aku hanya berada di daerah selatan."
"Yang terpenting kita telah bersatu bukan?"
Zhan mengangguk.
"Kenapa kamu mati saat itu?"
"Saat itu?"
Yibo menangguk. "Lima tahun lalu."
"Karena aku benci hidupku. Aku punya seribu kebencian dan hanya satu yang aku cintai. Tentu saja yang 'cinta' ini kalah. Aku mati karena kebencianku sendiri."
"Egois."
Zhan terkekeh. "Bukannya sifat manusia seperti itu? Ada beberapa sifat alami manusia, salah satunya egois. Kamu juga sangat egois. Memaksaku untuk menjadi milikmu."
"Kamu senang saat menjadi kekasihku."
"Tentu saja. Manusia punya keinginan alami untuk selalu merasakan kasih sayang. Kamu mengasihiku begitu dalam, tentu saja aku senang."
Yibo tersenyum. Ia menyatukan tangannya.
"Ingatlah kamu saat kamu mati?"
"Ingat. Dihari ulang tahunku, aku bunuh diri sebelum dinner kita."
Yibo menunduk. Senyumnya masih setia menempel. "Saat itu aku ingin melamarmu. Tapi dari pada mendapatkan jawab 'Ya, aku bersedia' aku malah mendapatkan jasadmu."
"Untuk itu aku minta maaf."
"Tak apa, aku juga mati dihari ulang tahunku."
"Peniru."
"Aku tak peduli."
"Hey," panggil Xiao Zhan.
"Kenapa?"
"Kamu masih mencintaiku?"
Yibo mengangguk. "Iya, aku masih."
Xiao Zhan menarik nafas lega. "Untunglah, aku kira hanya aku saja yang masih mencintaimu."
Semarang, 2:09 a.m cerita ini selesai.
***
Akhirnya....
Ini merupakan lanjutan kisah sebelumnya dan aku nyatakan cerita ini telah selesai
Oh ya, baca ini pagi ya. Jangan sampai segini. Ga baik
Oke kalau begitu, bye. Staf safe and healthy. Don't forget to stay happy.
Ps: aku lagi galau. Jadi aku bikin au! gitu. Semarangan. Aku up di twitter. Pengen aku up disini juga sih wdyt?
Pss: aku lagi sedih karena cerita kak park. Mohon maapin kalau karya selanjutnya akan angst.
Goodnight.

KAMU SEDANG MEMBACA
Karya Sastra - Yizhan.
FanfictionIni merupakan puisi/karya sastra yang saya buat dalam waktu luang saya. Setiap chapter berisikan satu jenis karya sastra, dengan tema Yizhan. Saya harap kalian semua dapat menyukainya.