Latihan bersama ketiga bocah itu akan dimulai di hari selanjutnya. Pagi masih sama, rutinitasku berada di rumah Hani seperti biasa. Bangun, makan dan pergi latihan.
Hari ini aku diberi sebuah tongkat kayu untuk dipakai memukul angin. Aku sebut begitu karena Leiden menyuruhku melakukan gerakan seperti memukul angin berkali-kali dengan arah yang kadang berbeda. Atas-bawah, atas-bawah lalu ke kiri dan ke kanan. Sampai gerakan pertama dan terakhir aku merasakan panas di pergelangan tanganku.
"Lakukan dengan seluruh kekuatan yang kau miliki!" seru Leiden sambil berkacak pinggang.
Sampai hampir beberapa jam, tubuhku terduduk di tanah karena lelah. Peluh keringat membanjiri tubuhku. Benar-benar melelahkan.
Leiden menggelengkan kepala beberapa kali melihat betapa lemahnya si manusia bersinar ini. Mungkin juga julukan tersebut sudah tidak penting lagi, karena orang-orang di Aenom menatapku dengan berbagai raut datar. Seolah mereka tahu aku ini terlihat tidak berguna.
Aku bangkit dan perlahan menjauh dari lapangan. Memperhatikan Lily yang berdiri sambil menutup matanya. Dia menarik napas dalam-dalam sambil mulutnya berkomat-kamit sejenak. Ella memperhatikan di sekelilingnya, kadang dia juga memberi pengarahan dengan lembut.
Entah apa keistimewaan yang dimiliki Lily karena sejak pagi gadis itu hanya memungut tanaman mungil dan lebih lucunya lagi Lily membawa tas rajut kecil yang berisi kecambah kacang. Aku melihatnya isi tas itu pagi ini.
Aku memperhatikan Kai yang menari dengan seruling di mulutnya. Kata Hani, anak laki-laki itu memiliki caranya sendiri untuk berlatih. Aku masih memperhatikannya ketika perlahan suara seruling itu mengangkat sebuah batu besar. Seukuran dua kali besar perutku dan meletus hingga menjadi butiran pasir.
Mataku tertarik ke arah Hendery. Bocah itu malah duduk manis sambil mencoret-coret kertas di tangannya. Aku mendekati Hendery dengan langkah lebar. Bocah tampan itu berbeda dari dua temannya yang tengah berlatih sugguh-sungguh. Tapi dia sendiri asyik menggambar ketika aku sampai di dekatnya.
"Kau tidak berlatih?"
Hendery menatapku sejenak, kemudian sibuk kembali mencoret pensil runcing di atas kertas kasar di tangannya.
"Aku tidak suka bertarung. Kau sendiri? Apa keahlianmu?" Nada bicaranya tidak sarkas. Tapi aku sadar diri dengan posisiku saat ini. Dilihat-lihat Hendery anak yang cukup tenang dan sepertinya santai juga.
"Aku tidak tahu," jawabku cepat.
Hendery menatapku lagi, kini semburat merah muda menghiasi bawah matanya karena kulitnya yang putih.
"Ternyata kau pandai melucu. Aku tidak salah kali ini telah menggambar seseorang sepertimu." Setelah ucapannya tuntas Hendery membalik kertasnya. Menunjukan gambar corat-coret namun merangkai satu wajah dengan cukup sempurna.
"Itu aku?"
"Kau terlihat berbeda dari semua orang," ucapnya lagi.
"Bagaimana kau tahu tentang itu? Apa keahlianmu adalah meramal seseorang?" tanyaku terkejut meskipun terdengar konyol.
Hendery tertawa kecil lalu melanjutkan menggambarnya dengan mencoret bagian rambut pada sketsanya.
"Aku hanya ingin menggambar bukan bertarung," ucapnya, kali ini dengan nada yang datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE AENOM SAGA : Born Shine ✔
Fantasy🎖: Top 7 Writora 2022 "Get Your Prompt" © KANG ZEE present • (#) BOY'S IN THE NIGHTMARE • THE AENOM SAGA: BORN SHINE • THE 4TH FULL NOVEL '2022' • Fantasy, Action • Completed Elion masih belum sepenuhnya menerima keadaan yang membingungkan ini...