| Chapter 16 | : Parasite

4 3 0
                                    

Hujan darah!

Aku mengusap wajahku seketika. Menyingkirkan bau amis dan betapa hangatnya hujan yang turun ini. Sayup-sayup aku mendengar Darel mengumpat berkali-kali. Dia pikir hanya dirinya-kah yang merasa jijik dengan cuaca aneh ini.

Hani mengusap wajahnya dan membersihkan tetesan air hujan darah itu dari tubuhnya. Tapi sayangnya hujan darah ini malah semakin deras. Bukan dingin yang menyergap tubuh kami. Namun, hawa panas seolah hujan ini telah direbus lebih dulu sebelum jatuh ke tanah.

Aku bangkit dengan pandangan mulai mengabur. Penglihatanku tiba-tiba buram melihat sekelilingnya. Apa akibat hujan darah ini?

Aku mencari keberadaan yang lainnya. Mereka juga berteriak mencari kami. Hujan darah serta angin membuat rumput ilalang bergoyang menghambat langkahku. Menyapu tubuh kami seperti sehelai daun yang disapu gelombang. Aku merasa kelimpungan sendiri. Ilalang ini sepertinya memiliki tenaga untuk menyapu tubuhku.

Aku terjatuh dengan keras ketika sesuatu menarik kakiku dengan kuat. Tanganku mencengkeram ilalang di sekitarnya. Menahan sesak di dada setelah membentur tanah terbungkus ilalang ini.

"Hani!"

"Elion!"

Suara Hani mengisi gendang telingaku dari jauh. Cuaca benar-benar buruk. Awan gelap membuat cahaya lenyap dengan begitu cepat. Saat ini bahkan sudah seperti di malam hari. Aku harus menyingkirkan kentalnya air hujan darah dari wajahku berkali-kali agar tidak tertelan. Bau amis membuat kepalaku dilanda pening. Aku mual, isi perutku seperti akan keluar.

"Elion!"

"Ella!"

"Kalian di mana?"

Aku berusaha menarik sebelah kakiku. Sesuatu yang aneh itu menarik pergelangan kakiku penuh tenaga. Tubuh yang cukup ringan sontak terseret jauh dengan cepat. Mengusik barisan ilalang yang basah dan ikut  bergerak merobek pakaianku karena ujung-ujung rumput ilalang sepanjang lutut itu ternyata lumayan tajam.

Jeritan yang jauh tertangkap telingaku. Itu adalah jeritan perempuan. Aku tidak tahu itu suara milik siapa. Antara Hani atau Anna mungkin juga Ella. Mereka pasti dalam bahaya.

Ketika dengan cara yang sama tiba-tiba, tarikan itu berhenti. Cengkeraman di kakiku terlepas. Semacam tangan-tangan misterius itu hilang. Aku mencoba berusaha bangkit dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Seolah linglung sudah seperti domba yang kehilangan kawanannya.

Hujan masih begitu lebat menghujam tubuhku tanpa henti. Sementara jarak pandangku semakin buruk. Tanganku menyibak rerumputan dengan kasar. Kadang terjatuh karena kakiku terlilit. Rumput ilalang ini kini hampir setinggi dadaku. Entah bagaimana bisa terjadi. Karena medan ini benar-benar jauh lebih buruk dari sebelumnya.

"Hani! Di mana kalian?" Aku mencoba berteriak meski aku benci air darah itu memasuki mulutku. Sensasi asin memenuhi lidahku saat itu juga. Beberapa kali aku meludah sampai terbatuk.

"Elion!" Suara jawaban itu begitu jauh aku dengar atau karena isi telingaku terisi oleh air hujan darah ini jadi pendengaranku ikut memburuk.

"Hani! Leiden! Ella! Kalian di mana?"

Aku menerjang rerumputan sampai pada akhirnya tubuhku jatuh dan tidak sanggup lagi untuk bangkit. Hujan darah membungkus tubuhku yang basah kuyup. Aku meraba sisi pinggangku tempat pedang itu berada. Namun, ternyata pedang itu sudah tidak ada lagi di tempatnya.

THE AENOM SAGA : Born Shine ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang