"Hani! Apa kau bisa mendengarku?"
Aku menggungcang tubuh Hani dengan panik. Setelah kupastikan jika Timothy sudah tidak bernyawa lagi. Dia tergeletak dengan kepala berceceran di tanah. Langkah dan pikiranku secepat kilat mencari keberadaan Hani.
Setengah sadar Hani mulai menatapku pelan-pelan. Ada cairan merah pekat yang telah keluar dari bibirnya. Selain itu, luka sobek menganga aku melihat di pinggangnya. Pastilah batu sialan itu berhasil melukainya dengan seburuk ini.
"Elion," ucapnya pelan.
"Kau bisa mendengar ucapanku? Tenanglah Hani, aku akan segera mencari bantuan untukmu, kau akan selamat, bertahanlah sebentar lagi."
Aku mencoba mencari ke segala arah berharap akan ada sosok lain yang bisa menyelamatkan Hani saat ini. Tapi, harapanku sudah seperti butiran pasir yang tersapu angin gurun. Sebagian besarnya adalah kesia-siaan.
Lily muncul dengan terpogoh-pogoh. Rautnya cukup terkejut melihat pemandangan kami berdua. Terutama dengan keadaan Hani.
"Kau bisa mengobatinya?" Aku bertanya karena sudah sangat putus asa dengan jalan pikiranku saat ini.
Lily menggeleng pelan. Jari-jemarinya bergetar.
"Ketua Leiden juga telah meninggal di dalam ruangan, aku sudah memeriksanya," kata Lily dengan suara lirih. Air matanya kembali jatuh dan deru napasnya terdengar sesak. "Aku tidak bisa menyelamatkannya."
"Sudah ... cukup," kata Hani.
Tangannya menekan luka di pinggangnya yang mengeluarkan banyak darah. Dia mendesah kesakitan setelah menekan bagian lukanya.
"Bagaimana aku bisa menyembuhkanmu? Aku sudah gagal melindungimu. Janjiku pada Isabel tidak terwujud. Aku menghancurkan segalanya."
Aku membawa kepala Hani diletakan di pahaku. Mencoba ikut menahan aliran darah yang terus keluar. Napas Hani terdengar begitu sesak dan menyakitkan. Dia mendengkus mendengar ucapanku barusan. Matanya yang baru kusadari betapa jernihnya itu menatapku lekat-lekat.
"Ternyata ... rasanya akan mati sakit juga ya," kata Hani dengan senyumnya yang begitu rapuh.
Aku tidak sadar kalau pipiku sudah basah oleh air matanya yang mulai berjatuhan. Sebelah tanganku beralih meremas pundaknya pelan.
"Gadis bodoh! Jangan banyak bicara seperti itu, aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja, kau dengar aku?"
Hani lagi-lagi tersenyum. Dia sedang mencoba meremehkanku dengan gayanya itu. Meskipun aku berdecih melihatnya masih keras kepala bahkan di saat sekarat seperti ini.
"Aenom sudah berakhir," katanya pelan.
Aku menahan agar tidak terisak. Ya, benar yang diucapkannya. Musuh Aenom telah berakhir. Begitu juga dengan para penduduknya. Mereka semua binasa kecuali yang tersisa hanyalah kami.
Lily menatapku penuh harap-harap cemas.
"Bagaimana kita menyebuhkan lukanya? Apa kau tidak bisa menyembuhkannya Elion?"
Aku menunduk dalam-dalam. Menatap ke arah Hani yang terkadang memejamkan matanya tanda bahwa dia sangat merasa kesakitan. Aku teringat dengan gelangku. Isi kepalaku seolah mengatakan jika gelang Aenom ini mungkin berguna.
Aku melepaskan gelang tersebut dan meletakannya di atas luka Hani.
"Apa yang kau lakukan Elion?" tanya Hani dengan suara parau. Matanya mulai tertutup secara perlahan.
Aku tidak menggubrisnya pertanyaannya barusan. Mataku hanya terfokus pada gelang tersebut.
Kau pasti bisa menyembuhkannya bukan, aku mohon. Sekali ini saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE AENOM SAGA : Born Shine ✔
Fantasy🎖: Top 7 Writora 2022 "Get Your Prompt" © KANG ZEE present • (#) BOY'S IN THE NIGHTMARE • THE AENOM SAGA: BORN SHINE • THE 4TH FULL NOVEL '2022' • Fantasy, Action • Completed Elion masih belum sepenuhnya menerima keadaan yang membingungkan ini...