| Chapter 11 | : Key East

24 9 2
                                    

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Mereka, termasuk diriku yang dujuluki para ksatria berbaris di depan penduduk Aenom.
Penduduk menonton kami bertujuh dengan memamerkan segala macam raut dan emosi. Mulai dari menangis sampai raut marah yang entah karena apa.

Aku berdiri di dekat Hani yang masih menatap para penduduk Aenom dengan raut tenang. Timothy, pria menyebalkan itu berjalan mondar-mandir dengan mulut yang tidak henti-hentinya berbicara tentang tujuan dan apa yang harus dilakukan para kstaria.

Dia juga memberi pengertian kepada penduduk Aenom agar memberi doa serta semangat. Tidak lupa memanjatkan harapan agar para ksatria berhasil menaklukan Raja Neros nantinya dan pulang dengan selamat.

Aku berharap kupingku tidak memerah karena marah. Timothy terlihat seperti pria bermulut omong kosong selain sikap tingginya yang membuatku benci setengah mati.

Para penduduk mengangkat tangan mereka dan memberi tanda jari yang disatukan sama seperti yang dilakukan Hani saat pertama kali membawaku ke Aenom. Entah apa artinya karena tebakanku adalah itu adalah sebuah tanda dukungan untuk kami semua.

Setelah upacara pelepasan yang mendebarkan dada kecuali ucapan panjang lebar Timothy, itu tidaklah penting menurutku. Mereka semua melepaskan kami bertujuh. Bersorak memberi dukungan, sekilas aku berharap akan kembali lagi ke sini dengan membawa keberhasilan yang mutlak. Bisa saja kan.

Leiden berjalan lebih dulu, dia adalah ketua tim ini. Aku lebih banyak percaya padanya dari dua pria lainnya di sini.

Aku menatap satu persatu dari kami yang perlahan meninggalkan pemukiman Aenom. Melewati gapura dan berjalan keluar dari area hutan yang selama ini melindungi Aenom.

Leiden membawa tombak bermata satu di punggungnya yang terbungkus kain. Karena pedangnya dia berikan padaku waktu itu dan dia mengembalikannya saat aku terkapar akibat serangan Raja Neros waktu itu. Katanya pedangku patah dan dia memperbaikinya. Kini aku memiliki pedang baru yang sepertinya akan patah lagi, entahlah.

Anna dan Darel masih terlihat kembar. Bahkan raut keduanya hampir sama, datar dan kasar. Ella berada di depanku. Aku menatap anak-anak panah di punggungnya. Rambutnya di kepang satu dan dibiarkan jatuh kepundak sama seperti yang Hani lakukan pada rambutnya.

Dalam perjalanan yang asing aku malah sibuk memperhatikan anggota tim ini. Pakaian kami hampir semuanya sama. Bahan kulit yang tebal juga nyaman di kulit kami. Meski untuk warna tersendiri kami berbeda. Pakaianku satu-satunya yang berwarna hitam dan krem tua agak gelap.

Leiden mulai berbicara dengan Reo. Aku tidak terlalu mendengar mereka membicarakan tentang apa. Karena sekarang aku beralih sibuk memperhatikan hutan yang sudah kami lewati. Kini kami semua melewati padang rumput selutut yang menjadi jalan pertama kali aku muncul di negeri ini.

"Kau mengingatnya?" tanya Hani tiba-tiba.

Dia berada di sebelahku dengan satu tangan yang memegangi belati bersarung di pinggangnya. Dia sungguh sangat waspada dari sekarang.

"Iya tentu saja. Saat pertama kali aku berada di sini adalah tempat ini."

Kami semua berjalan melewati padang rumput ke arah timur. Dari kejauhan aku melihat sebuah pintu berdiri dengan sekat seperti kaca tembus pandang di sekitarnya. Entah apa gunanya pintu itu berdiri tegak di tengah pandang rumput. Karena aku tidak akan pernah tahu seluk-beluk dunia di sini. Semuanya terkesan aneh dan tidak masuk akal.

THE AENOM SAGA : Born Shine ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang