"Bagaimana tanganmu?"
Hani berjalan lebih dulu di depanku dan dia juga membuka pembicaraan di tengah perjalanan pulang.
"Kenapa memangnya?" tanyaku heran. Padahal sedari tadi aku tidak banyak memikirkan kalau Hani tampak lebih diam hari ini. Dia membawa keranjang anyaman dari serat tumbuhan. Di dalamnya ada dua ekor kelinci mati yang sudah dikuliti.
"Katanya kekuatan tanganmu lemah, bahkan hanya dengan memegangi tongkat kayu saja," jawab Hani tanpa berbalik untuk sekedar menatapku.
"Memang aku tidak bisa menggunakan tongkat kayu itu, aku juga tidak jago berkelahi seperti kalian."
Langkah Hani terhenti akibat dari perkataanku barusan. Dia menarik napas sambil berbalik menatapku dengan gestur bahwa dia seolah menahan kekesalan saat harus menghadapiku saat ini.
"Aku tidak mungkin salah orang. Hanya kau yang memiliki aura bercahaya itu jadi aku membawamu kemari. Tapi kalau pun itu bukan kau, aku harap itu memang kau."
Kemudian Hani berbalik pergi tanpa bicara lagi. Aku cukup tertegun dengan ucapannya barusan. Entah mengapa kalimat-kalimat yang meluncur dari bibirnya tadi terdengar begitu serius dan tulus.
Jika benar Hani menginginkan sosok penyelamat dari seseorang sepertiku yang nyatanya tidak bisa melakukan banyak hal. Sangat jauh dari ekspestasinya.
Jangan salahkan aku. Siapa juga yang senang hati ingin pergi ke tempat bernama Aenom ini dan diberi tugas untuk bertarung melawan Raja Eros yang katanya begitu mengerikan? Tapi kenapa juga aku bisa merasa semakin kesini semakin merasa bersalah?
Kami berdua pulang ke rumah tanpa obrolan seperti biasanya. Hani tampak murung entah karena apa. Yang pasti aku tidak tahu apa sebabnya, kalau mungkin dia berharap padaku tentang misi membinasakan Raja Eros. Itu sepenuhnya bukan salahku karena tidak bisa berbuat apa-apa.
Isabel menyambut kami berdua ketika sampai di rumah. Dari sorot matanya Isabel tahu jika putrinya tengah bermasalah. Dia memberi kode padaku dengan anggukan kecil ketika Hani pergi ke kamarnya tanpa membuka mulut. Dia hanya meletakan daging kelinci dan pergi begitu saja ke dalam kamarnya.
"Apa kalian berdua bertengkar?" tanya Isabel ketika aku meletakan sepatu di dekat lubang pintu dan pedang pemberian Leiden. Kadang aku melupakan keberadaan pedang tersebut kalau aku sibuk dengan hal lain.
"Tidak," jawabku singkat.
Isabel menatapku lekat-lekat. "Aku sudah tahu," tuturnya.
Aku mengkerutkan kening heran dengan sikap Isabel yang sepertinya bisa membaca pikiran siapa pun.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi. Dia bersikap begitu sepulang latihan."
"Iya, ada hal lain yang tidak ada hubungannya denganmu."
Nada bicara Isabel masih tenang seperti biasanya. Padahal dia bisa saja kesal kalau melihat reaksi wajahku yang perlahan keruh.
"Hal lain? Apa itu?"
Meskipun begitu, aku penasaran bagaimana bisa seorang Hani bisa menjadi makhluk dengan sikap dinginnya seperti hari ini.
Isabel membawaku ke dapur, lebih tepatnya keluar dari pintu dapur. Menjauh dari jangkauan pendengaran Hani.
Isabel menyuruhku duduk di kursi kayu di belakang rumah. Sepertinya dia akan membicarakan suatu hal yang serius dan berhubungan dengan sikap Hani hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE AENOM SAGA : Born Shine ✔
Fantasy🎖: Top 7 Writora 2022 "Get Your Prompt" © KANG ZEE present • (#) BOY'S IN THE NIGHTMARE • THE AENOM SAGA: BORN SHINE • THE 4TH FULL NOVEL '2022' • Fantasy, Action • Completed Elion masih belum sepenuhnya menerima keadaan yang membingungkan ini...