Apa yang diharapkannya?. Sampai berfikir bahwa panggung sandiwara ini miliknya. Ria berbalik dengan semangatnya memastikan suara manis itu miliknya. Memandang lekat sampai tersadar bahwa ada dinding yang cukup tinggi untuk didaki."Ria" Suara itu membuat hati berdebar.
"Lu??... "
"Emang siapa?."
"Aahh Fahri bikin bete ahhh" Ria berjalan meninggalkan Fahri yang berada dibelakanganya. Dia melewati lelaki itu yang sempat melintas di benak fikirannya. Siapa aku berani memikirkannya?.
Walaupun Ria sudah yakin siapa pemilik nomer itu, tetap saja ada perasaan yang sebenarnya tidak bisa diunggkapkan. Pertanyaan melayang berhamburan diluar kepala. Kenapa?... Kenapa?... Semuanya butuh jawaban. 3 hari ini Ria menjadi sosok yang pendiam karena gelisah. Tidak ada panggilan itu lagi. Tidak ada tatapan itu lagi. Bahkan senyum itu sudah lama tidak dilihatnya.
~~~
"Tumben berangkat pagi Ta?" mama heran."Ria piket mahh... Kalau terlambat Gita bisa diterkam pak Santoso" jelasnya sambil sedikit tertawa.
"Kamu ini ada-ada Aja Ri"
Jam masih menunjukkan pukul 06:00 suasanya masih sangat sepi. Belum terlalu banyak aktifitas yang terlihat. Zia sepertinya belum bersiap, mungkin saja masih tidur sekarang. Sebelumnya Ria sudah memberitahukan bahwa dia akan pergi sekolah lebih awal, maka tidak ada masalah jika Zia harus ditinggal bukan.
Di bus itu Ria tidak harus berhimpitan, justru bebas ingin duduk dimana. Langit yang masih menampakkan warna jinga itu membuat senyum dibibirnya. Rasanya seperti ada yang diharapkan olehnya. Bukan sesuatu yang spesial hanya kepastian. Semoga saja lelaki itu lebih berani.
Ria menyandarkan kepalanya di jendela. Memandang langit yang mulai berubah warna, bukankah sama seperti hati manusia, yang mudah berubah seiring waktu terus berputar.
Keadaan sekolah sungguh masih sepi, padahal waktu sudah terus menekan dunia, tapi tetap saja semuanya masih menganggapnya panjang. Langkah kakinya sedikit lemas, memandangi lantai yang harus disapunya sepanjang koridor kelas.
"Bagaimana bisa sekotor ini" hela nafasnya terdengar kesal, marah pada siapa? Entah.
"Ria?" suara panggilan itu terus tergiang, namun tidak ada jawaban dari Ria.
"Ria" berulang dari arah belakangnya.
"Fahri lu harusnya nyapu bagian dalam kelas" dengus Ria tanpa berbalik arah. Karena hari ini Ria memang piket bersama Fahri.
"Emhhh ituuu... Ma...maaf" katanya ragu.
Ria terdiam mencerna kata itu. Siapa?. Suaranya terdengar sangat familiar tapi siapa?.
Dia membalikkan badanya, melihat siapa yang mengajaknya bicara. Terlihat sedikit wajah kaku dan sedikit cemas. Sepertinya memanggilanya butuh keberanian yang sangat besar.
"Alwi" Ria terkejut.
Disudut sana terlihat hanya tersenyum sambil mengaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Seakan salah tingkah katanya.
"Ehh Maaf ya..."
"Buat apa?" sungguh membingungkan kata itu terus muncul bahkan tanpa berbuat kesalahan.
"Karena udah... Emhh.... Apa ya..." wajahnya yang putih sontak menjadi merah padam. Gerakkannya tidak beraturan memandang entah kemana.... Memalingkan pandangannya dari Ria.
Ria yang memperhatikan langsung tersenyum melihat itu. Wajahnya sangat mengemaskan, sepertinya kondisi itu membuatnya tidak bisa menahan tawanya.
"Huaahahahahah" Ria tertawa terbahak. Bagaimana tidak ekpresinya aneh.
"Eeh sorri. Habisnya muka lu lucu banget" sambil membekap mulutnya dan memegang perutnya.
"Eh gak papa. nomer itu punya gue" Akhirnya memberanikan diri.
"Aah Gue udah tahu kok. Santai ajah lagi. Lo boleh simpen kalau mau" Dengan karakternya yang seperti itu, Ria sungguh tidak tahu malu.
"Ok makasih. Gue pikir lo marah karena selalu menghindar dari Gue" jelasnya.
"Ehh kok jadi gue. Bukannya lu yang menghindar, udak gak pernah nelpon lagi, sms juga gak pernah. Terus yaa kalau berpapasan lu juga gak mau senyum. Kenapa gak pernah lewat depan kelas gue?.. Kan gue jadi...." Ria menghentikan ucapannya. Memukul kepalanya karena terbawa sesuana. Diliriknya lawan bicara didepan sana, tersenyum.
"Boleh kan Gue deket sama lo Ri?" pertanyaan itu membuat Ria mengangguk dengan cepatnya. Akhirnya yang diharapkan terjadi juga. Sebuah kata yang sangat sederhana tapi mendebarkan. Mereka tersenyum sambil sesekali mencuri pandang.
"Kenapa kelasnya masih kotor. Koridor juga kotor. Eeii kalian berdua cepat piket bersihkan semua. Sebentar lagi masuk" pak santoso memergoki mereka.
Mereka yang langsung sadar segera bergegas pergi kekelas masing-masing. Ria sungguh sibuk, dia segera mengambil sapu.
"Baik pak. Ini baru mau disapu" Tegur ria kepada pak santoso karena tidak berlalu pergi.
"Gue bantu ya Ri" lelaki itu langsung menyapu disampingnya. Ria yang melihatnya hanya tersenyum melihatnya. Bagaimana bisa lelaki itu berada disampingnya sedekat ini. Kondisi yang tidak baik dengan suasana hati yang baik maka akan Romantis....
Hampir seminggu ini. Ria dan Alwi selalu berangkat pagi, karena arah rumah mereka berbeda, sehingga mereka hanya saling menunggu dipintu gerbang sekolah. Sekedar berbincang dan tertawa, selama ini Alwi sudah berubah cukup drastis. Lelaki webtoon itu menjadi sering tersenyum, namun hanya padanya. Sesekali mereka juga saling menelpon dimalam hari, membicarakan sesuatu yang tidak romantis apa itu? Pelajaran. Namun bagi Ria itu sungguh indah. Sampai hatinya berubah menjadi seseorang yang egois. "Aku ingin memilikinya. Iya, lelaki itu. Alwi"
To Be Continue....
Bab ini lebih singkat yaa...... Karena kelelahan jadinyq belum bisa optimall.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Tidak) Berakhir Indah? (Hiatus)
Romance"Emhh bagaimana kabarmu?, Aku rindu" terkejut Ria mendengarnya. Apakah ini bertanda bahwa dirinya bisa kembali. Sebenarnya rasa cinta masih ada didalam hatinya. Hanya saja gengsi menghalangi semua itu. "Aku ingin kembali" rasanya ingin sekali mengat...