TIGA

17 3 0
                                    

Hatinya belum puas mendengar jawaban dari Zia, entah apa yang terjadi rasanya seperti masih ada yang mengganjal. Ria berputar-putar di depan pintu kelasnya, ditemani Zia yang sibuk makan ice cream diwaktu istirahat.

“Pusing Gue lihat Lu” tegur Zia yang sudah tidak bisa melihat tingkahnya.
Tidak ada jawaban darinya, bahkan kini raut wajahnya terlihat pucat pasih, keringatnya sudah sebesar jangung. Apa yang sebenarnya terjadi?. Pukul menunjukkan 12:50. Tambah tidak karuan hatinya, sesekali Ria melihat pergelangan tanganya. Memastikan untuk yang kesekian kalinya, pukul berapa ini?.

Sudah lama menunggu, terlihat rombongan lelaki yang datang kearahnya sambil sesekali berbincang. Merangkul satu sama lain dan saling besenda gurau. Mereka berjalan ke arah ria dan zia, dan lelaki yang di tengah yang sedari tadi menatapnya dan empat orang lainnya berjalan disisi kanan dan kiri orang yang menatap ria, ya lelaki yang berjalan ditengah itu adalah alwi, orang yang selama beberapa hari ini sudah membuat hatinya tidak karuan, dan empat orang lainnya yaitu, Fahri, Ari, Alan, dan Fadli. Mereka adalah teman-teman Alwi. Mata Ria tertuju pada lelaki yang ditebak Zia. Tidak ada hentinya menatap wajahnya dengan lekat. Sambil sesekali menyeka keringat yang semakin membasahi wajahnya.
Terlontar senyuman dari lelaki itu, sungguh manis. Hatinya berdegub kencang, lalu dia menggelengkan kepalanya, pertanda harus sadar dari mantra wajahnya, kembali  pada tujuan awal dia berdiri dan menunggu seseorang.

“Fahri Ikut Gue” panggilnya disela-sela senyuman yang tercipta. Sambil berjalan menjauh dari kelas, Ria melihat kebelakang, terlihat wajah lelaki itu tidak seceria tadi. Rasanya seperti ada yang aneh!. Tadi aja senyumin gue, sekarang kok dingin lagi, aneh emang tuh cowok.

“Apaan sih Ri?, capek nih, udah jauh tahu dari kelas dan anak-anak” keluh Fahri setelah beberapa saat berjalan.
“Ada yang Gue mau tanyain sama Loe, tapi Loenya harus jujur” Ria mulai mengintogerasinya.

“Eh tunggu!, mana Ari ?” tanyanya.

“Lah, kan Lu Cuma manggil Gue doang”. Fahri satu kelas dengan Ria sedangkan Ari berada dikelas sebelah, lebih tepatnya satu kelas dengan Alwi dan Zia. Karena Ari adalah teman dekat alwi kata zia sih, makanya ria ingin menanyakan sesuatu yang membuatnya merasa sangat dihantui rasa penasaran beberapa hari ini.

“Panggil sono, cepetan” suruh Ria sambil mendorog tubuh Fahri menjauh.

“Kalau Lu bukan yang special baginya, udah Gue tampol Lu”  ketus Fahri sebelum pergi.

Sontak saja perkataannya itu membuat Ria tertegun sebentar. Memastikan apa yang baru saja didengarnya. Apa yang special?, Ria?. Oh tidak mungkin. Kata yang paling membosankan adalah menunggu, kenapa? Entahlah. Survey yang aku buat sendiri membuktikan bahwa Menunggu bisa membuatmu jenuh, apalagi dalam kurun waktu yang tidak dapat ditentukan.

Sekitar 10 menit Ria menunggu kedua temannya itu. Rasanya sudah berjam-jam saja, sampai kakinya kram kesemutan.

“Lama banget sumpah” Ria medengus kesal tepat setelah Fahri dan Ari menampakkan wajahnya.

“Sorry, masih Ngomong sama Alwi tadi” Ari menjawabnya.

“Ahh” Ria sedikit gagap mendengar nama Alwi dilontarkan.

“Ok, langsung ajah ketopik pembahasan, kalian berdua cukup dengerin Gue dulu sampai ada pertanyaan, baru kalian boleh ngomong Ok” siapa Ria sampai berani mengatur kedua lelaki tersebut.
Namun diluar dugaan, mereka mengangguk dengan sangat atusias, padahal belum tahu apa yang akan dibicarakan.

“Jadi kalian harus jawab dengan Jujur, Gue diteror dengan nomer baru selama beberapa hari ini, Lu tahu kan Fahri, yang kemarin Gue suruh lu buat jadi Bokap Gue?” Fahri mengangguk.

(Tidak) Berakhir Indah? (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang