Chapter 6. Saudade

374 78 17
                                    

Endeavor--Enji, memutuskan untuk tidak ikut hadir di pernikahan Tenya dan Momo. Meskipun tidak berkata apapun, ia menyadari semua ambisinya selama ini membuat hidup orang-orang di sekitarnya hancur. Sejak kemarin sore, Enji mengurung diri di ruang kerjanya. Melewatkan makan malam, melewatkan tidur malam. Rei mencoba mengetuk berkali-kali tetapi Enji tidak menjawab apapun. Maka pagi itu Shouto yang turun tangan, tidak mau mendadak migrain karena melihat ibunya khawatir.

“Bisakah kau buka pintunya?” Shouto bertanya, dengan nada sesopan mungkin.

Tidak ada jawaban.

“Aku ingin bicara sebentar,” Shouto mengetuk lagi, tetapi masih hening.

Pemuda itu menghela napas, “Dad, please?” lalu ia diam beberapa saat.

Jika dalam lima menit Enji tidak membuka pintunya, Shouto putuskan tidak akan mengetuk lagi. Ia akan bilang pada ibunya kalau Enji tidak ingin ikut ke pernikahan Tenya karena pekerjaannya menumpuk bak sampah di tempat pembuangan.

Berbohong? Shouto tidak begitu peduli, bukankah katanya berbohong untuk kebaikan tidak dilarang? Biasanya Fuyumi atau Natsuo akan ikut merapikan kebohongannya biar ibunya tidak bertanya lagi, tidak khawatir lagi. Namun, tidak lama pintu ruang kerja Enji dibuka pelan. Sosok tinggi besar itu berdiri tegap, menatap Shouto dengan agak terkejut. Anak bungsunya itu sudah merapikan diri, menggunakan tuxedo kiriman Tenya yang elegan. Rambutnya sebagian disisir ke belakang, lekuk wajah seorang pemuda dewasa dari seorang Todoroki Shouto nampak tegas dan teduh disaat yang bersamaan. Enji mendadak ingat pada Dabi--Touya.

“Masuklah.” Enji memberi tanggapan.

“Ibu menunggu di ruang depan,” Shouto bicara sambil melangkah masuk, “kenapa Ayah belum siap-siap?” ia memilih berdiri di dekat meja kerja Enji.

Enji sendiri berdiri menghadap jendela, memperhatikan kecipak air dari kolam kecil di samping rumah itu. Kepala keluarga Todoroki itu enggan menjawab.

“Ibu sudah menyiapkan jas, senada dengan gaun miliknya.” Shouto kembali bicara.

Enji menoleh, “Aku tidak ingin datang. Tidak bisa,” ia menghela napas, “Shouto, anggap ini sebagai hukumanku. Bagaimana bisa aku datang ke sana, melihat seseorang yang anakku--kau, cintai menikahi orang lain karena sikap ayahnya--aku, yang seperti monster?”

Shouto seharusnya terenyuh, because what? Seorang Endeavor mengakui bahwa dirinya seperti seekor monster, berarti pria itu benar-benar hampir sempurna pertaubatannya. Tapi alih-alih terharu, Shouto malah tertawa hingga tidak kuat lagi berdiri dan memilih berjongkok.

Tawa renyahnya menggema di dalam ruang kerja Enji, butuh tenaga besar untuk berusaha berhenti, dan untungnya berhasil. Tatapan bingung Enji tidak lepas dari Shouto saat pemuda itu berusaha berdiri lagi sambil membetulkan kembali pakaiannya.

“Ah, maaf.” Shouto menarik napas, “Seseorang bilang padaku ketika kita mencintai seseorang, kita harus siap kehilangan banyak hal. Termasuk kehilangan cinta itu sendiri.” Untuk pertama kalinya, Shouto tersenyum di depan ayahnya.

Shouto berkata kembali, “Itu kata Camie, omong-omong.” Ia ingat persis ketika Camie mesti melihat pacarnya menikah dengan orang lain dua tahun lalu. But she doesn’t give a shit anymore. Yoarashi Inasa jadi ‘support system’-nya sekarang. Shouto yakin, hal yang serupa akan ia lewati nanti dan ia akan baik-baik saja. Momo juga akan baik-baik saja. Semua hal akan tertinggal di masa lalu, satu-satunya yang harus Shouto (dan Enji) lakukan adalah memperbaiki masa depannya. Kemudian kenapa masih ada orang yang harus khawatir seperti ayahnya?

“Aku akan baik-baik saja. Tapi tidak akan baik-baik saja jika ayah tidak ikut datang dan membuat ibu khawatir. Kita akan datang dengan lengkap. Termasuk Touya-nii.” Pernyataan Shouto yang terakhir membuat Enji terkesiap.

“Dab--Touya? But, h-how?” bahu Enji melemas.

“Hawks-san akan menjaga Touya-nii.” Shouto memperlihatkan pesan kiriman Hawks pada Enji, “Ayah, bisa kaubayangkan bagaimana respon ibu nanti? Haruskah aku atau Natsuo-nii yang membantunya kalau ibu tiba-tiba pingsan saking senangnya?” Shouto terkekeh.

Enji memejamkan matanya beberapa detik, “Beri aku lima belas menit.”

***

“Dabi you brat?!” Hawks menghela napasnya yang berat, “Keluar dari mobil!”

Dabi mengerang ketika Hawks berusaha menariknya, “Fuck, Hawks, I can’t! Gua nggak siap, please!”

Dabi mengeratkan pegangannya pada jok mobil. Berapa tahun sudah berlalu sejak ia disahkan menjadi tahanan Tartarus sebagai salah satu villain paling berbahaya? Lima tahun? Enam tahun?

Belum lama, itu waktu yang singkat untuk seorang pembunuh ditahan dalam sel!

Dibanding khawatir karena kemungkinan akan dikeroyok massa saat Dabi muncul di tengah pernikahan Tenya, ia lebih khawatir dengan tanggapan dan pandangan orang yang ada di sana. Bagaimana bisa seorang villain yang begitu menjijikan sepertinya berkeluyuran di tengah orang-orang ‘baik’ dan ‘terhormat’?

Dabi melenguh putus asa, ide siapa sebenarnya ini? Siapa yang memintanya untuk hadir di sana? Endeavor? Tapi untuk apa? Untuk mempermalukannya sebagai ‘Contoh Anak Durhaka yang Gagal dalam Pelatihan Super Keras Ayahnya’? Fuck Endeavor!

“Oh, come on, Dab.” Hawks berhenti menariknya, “ada yang nungguin lo, mereka nungguin lo.”

Dabi melonggarkan pegangannya, perlahan ia melihat ke luar melalui kaca depan mobil milik Hawks. Jantungnya berdebar kencang, untuk pertama kali dalam puluhan tahun hidupnya Dabi sadar masih memiliki jantung. Perlahan ia keluar dari mobil, memperhatikan dengan saksama siluet-siluet hitam beberapa orang di depan mobil Hawks. Ia menghitung jumlah siluet itu perlahan; satu; dua; tiga; empat; lima; pria jangkung itu melangkah sedikit demi sedikit, ia bahkan tidak awas ketika sosok Hawks hilang dari ekor matanya yang mendadak blur.

“… Touya,”

Kening Dabi mengerut, siapa Touya?

“T-Touya?” Suara lembut di depan sana merambati lagi gendang telinganya, “Astaga, Touya!” lalu badannya tiba-tiba sudah tenggelam dalam rengkuhan hangat.

Siapapun dan apapun yang terjadi saat itu membuatnya bingung, gelas-gelas dalam hatinya yang selama ini kosong terisi dengan banyak perasaan hingga kaca-kacanya retak, meluap. Ketika awan-awan putih seperti sengaja berdiam di depan matahari, Dabi bisa melihat satu per satu siluet itu menjadi sosok yang lebih jelas.

Ia melihat seorang wanita merengkuhnya erat, ia melihat seorang gadis dan pemuda dengan rambut putih diselipkan merah menyerbunya, ia bisa melihat seorang pemuda tengah tersenyum padanya, ia melihat seorang pria besar masih berdiri di tempatnya, menatapnya dengan penuh keteduhan. Matanya berlarian meniti segala arah, bagian depan kediaman Todoroki masih semembosankan dulu.

Dulu?

Dabi memejamkan mata. Matanya yang semula kering mendadak banjir. Tembok-tembok kedenialannya seketika runtuh. Touya Todoroki telah kembali pulang.

“M-mama,” tangannya membalas rengkuhan Rei, lebih erat. []

•••

Dabi is Touya. Change my mind. – Black Petals

[Todoroki Shouto | Bakugou Katsuki]  RIVALS=PARTNER²Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang