32. The cold War

35 10 41
                                    

Juna menatap punggung Alena yang menjauh. Dia benar-benar kecewa pada gadis itu. Dia kecewa karena Alena malah bersikap sok mandiri tanpa membagi deritanya pada Juna. Padahal jelas-jelas itu ada sangkut pautnya dengan Juna.

Di rekaman itu, adalah sebuah pengakuan Juna pengingat untuk Alena. Pengakuan bahwa Alena telah menyukainya sejak lama, lalu tentang dirinya yang tak boleh pacaran karena bisa mengganggu fokusnya yang sekarang memikirkan tentang event, lalu dia juga mengingatkan betapa kejamnya Viona yang menyakiti Alena habis-habisan gara-gara Juna. Parahnya, di sana Alena menyuruh dirinya supaya bersikap seperti orang yang tak mengenal Juna untuk kepentingannya.

Pikiran Juna diisi dengan beragam penyesalan dan berbagai pembelaan tentang sikapnya yang barusan. Merasa lelah dengan pikiran seperti itu, Juna memilih untuk pulang.

Selama perjalanan menuju rumah, konsentrasi Juna tak terlalu fokus. Pikirannya lagi-lagi diisi tentang Alena.

Sesampainya di rumah Juna langsung membaringkan tubuhnya di sofa. Tangannya dia tekuk, dibuat untuk menutupi mata yang terpejam. Saking lelahnya, Juna tanpa sadar malah tertidur di sofa dengan pakaian sekolah yang belum dia ganti.


***


Hari ini Juna disibukkan dengan belajar. Dia enggan terus-terusan larut dalam kekecewaan terhadap Alena, meski sampai saat ini pun dia tak tahu harus bagaimana.
Sudah dua hari Juna bersikap dingin pada Alena. Begitu pun gadis itu yang jadi lebih pendiam.

Yang ada di pikiran Juna, ia hanya ingin membiarkan Alena sendiri dan dirinya memilih mendinginkan kepala dengan sederet soal matematika, fisika dan kimia. Sayangnya, semua itu tak mempan. Lagi-lagi bayangan Alena selalu muncul, apalagi rekaman itu selalu terasa terdengar ketika suasana hening. Seperti ada pemutar otomatis dalam otaknya.

Kesal dengan dirinya sendiri, kepala Juna dia benturkan ke meja belajar dengan keras beberapa kali. Dia mengembuskan napas frustrasi lalu bangkit dan merebahkan diri di kasur.

“Gue harus gimana?” tanyanya pada diri sendiri.

Juna sudah seperti orang gila karena saat ini dia hanya mengguling-gulingkan badan tak jelas. Untung saja ide Leo untuk bunuh diri atau bunuh orang tak terlintas sedikit pun di pikiran Juna.


***


Dua hari ini, Alena selalu diliputi rasa bersalah. Hati dia sangat sakit ketika Juna berkata bahwa dia kecewa.

Semua kebaikan Juna terputar otomatis dalam benaknya. Membuat dia semakin tak enak pada Juan. Namun, di sisi lain Alena merasa benar karena membuat Juna membenci dirinya dan itu membuat dirinya lega karena Viona tak akan mengganggunya.

“Apa gue terlalu kejam ke Juna, ya? Padahal dia udah baik ke gue.” Alena mulai berbicara dengan dirinya sendiri. “Tapis mau gimana lagi, gue pengen gue dan dia sama-sama aman.”

“Tapi, kayaknya gue besok harus turunin kadar kejutekan gue ke Juna. Bagaimana pun juga, Juna lebih banyak bantu gue dari pada nyusahin gue.” Alena mengangguk-angguk dengan tekad dia harus melalukan apa yang barusan dia gumamkan besok.


***


Juna berjalan menunduk menuju kelas dengan kedua tangan dimasukkan ke saku. Hoodie hitam yang dia kenakan menutupi kepalanya. Terlihat seperti cowok nakal yang banyak masalah. Padahal kenyataannya, masalah Juna hanya satu. Karena cinta yang membuatnya tak berdaya, dibanding mengerjakan soal fisika.

Suara langkah membuat Juna menoleh ke belakang. Dia mendapati Alena yang menunduk dengan earphone putih mengisi lubang telinganya. Juan tak tahu Alena sedang mendengarkan apa, saat ini dia sedang berusaha tak peduli pada apa yang dilakukan Alena.

“Lo kayak orang misterius tau!” Ucapan Leo membuat Juna membuka tudung yang menutup kepalanya.

Dia tersenyum kecil lalu duduk di kursinya dengan malas. Kedua tangannya langsung bersilang, bersiap untuk Juna yang hendak tidur.

“Lo kok jadi males-malesan gini semenjak ngambil HP Alena, sih?” tanya Leo yang mencoba membuka pembicaraan.

Akhir-akhir ini, Juna menjadi orang pendiam. Dia seperti orang yang tak tahu tujuan hidup saking tak ada aktivitas lain. Di ajak ke kantin, dia enggan, katanya lebih baik tidur.

Padahal sebelumnya, Juna bukan orang yang males-malesan dan banyak tidur kaya orang habis main game online saat malam Minggu.

Leo mendengus ketika usahanya untuk membuat Juna kembali bicara tak ditanggapi. “Jun!” panggil Leo.

Kini orang yang dipanggil itu menata Leo sekilas dengan alis bertaut lalu kembali ke posisi enaknya untuk tidur. “Lo ada masalah sama Alena?” tanya Leo yang kembali diabaikan Juna.
Dia benar-benar lelah karena pertanyaan Leo selalu itu-itu saja dari dua hari kemarin. Juna saja sudah bosan dengan pertanyaan itu, ajaibnya sang penanya terlihat seperti orang yang tak bosan dan benar-benar penasaran tentang dirinya.

“Lo kok jadi nggak asyik gini, sih?” keluh Leo yang memilih bangkit dari kursinya.

Juna melirik kepergian Leo sekilas laku kembali memejamkan mata dengan seribu satu pikiran yang membuatnya tak nyaman.


***


Kali ini Juna mengangguk saat diajak ke kantin. Dia terpaksa ke kantin karena Leo menyuruhnya setengah memaksa dan mengancam. Saat ini, cowok itu tengah duduk sendiri karena tak ingin satu meja dengan Nisya dan Leo yang sudah dipastikan ingin membahas tentang dirinya dan Alena.

Juna tersentak saat kursi besi berdecit akibat bergesekan dengan lantai. Dia melirik Viona sekilas lalu fokus pada makanan di hadapannya. Dia ingin segera enyah dari sini, tetapi makannya masih banyak. Mood yang buruk ternyata berpengaruh terhadap selera makannya.

“Lo kemarin jalan di Teras Cihampelas, ya?” tanya Viona.
Juna hanya mengangguk singkat mendengarnya. Dia malas untuk membuka suara.

“Ngapain?” tanya Viona yang tatapannya beradu dengan Juna. Lelaki itu baru saja selesai makan dan kini tengah menyeruput Boba di genggamannya.

“Nyari rongsokan,” balas Juna sekenanya lalu bangkit karena Boba miliknya habis.

Tawa renyah Viona terdengar. Tawa itu semakin jelas ketika Viona mengejar Juna. “Yang bener?”

Juna terdiam karena dua kata itu malah mengingatkannya pada Alena. Tak sengaja, Juna berpapasan dengan Alena yang tangannya digenggam oleh Adara.

Alena menatap Juna tak enak sedangkan Juna menatapnya dingin. “Iya, gue lagi mau bangun rumah soalnya,” balas Juna tanpa melepas tangan Viona. Dia malah berjalan santai melewati Alena saking kecewanya.

“Rumah apa?” Viona berharap Juna berkata, “Rumah tangga bareng lo.” Namun, kenyataannya, jawaban Juna membuat dirinya tertawa keras.

“Rumah siput.”

Juna melirik Viona yang tertawa sekilas, dia lalu melepaskan pegangan tangan Viona yang menggangu itu lalu berjalan meninggalkannya sendiri.


***


“Yo, gue yakin mereka ada masalah, deh!” kata Nisya mengamati Alena dan Juna yang berpapasan tanpa suara.

“Iya gue yakin juga kayak gitu,” sahut Leo.

“Kita satuin lagi mereka, yuk!” kata Nisya bersemangat.

“Caranya?” balas Leo penasaran.

“Gue ada ide!” seru Nisya yang langsung menceritakan misinya pada Leo dengan semangat.

Jangan lupa vote, yaaa!

Ini rekor loh, aku sehari pibsliy empat bab. Apalagi ini publish jam 23.34 WIB. Asli, ini rekor update Storia d'Amore wkwk. Padahal klo di cerita yng satunya lagi publish jam segini udah jadi langganan.

Publish cerita I Am Esterina, selalu jam segini–kebanyakan. I Am Esterina adala cerita yang aku maksud. Jangan lupa mampir, ya! Udah tamat itu.

Storia d'Amore [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang