Bagian 1 : Arrival ~takdir mempertemukan kita~

546 12 0
                                    

Apakah ini hukuman untukku?

apa kah salahku tuhan? Apakah kau sudah membenci hamba-Mu yang satu ini?

            Hari ini aku beserta keluargaku akan terbang ke Jepang. Aku akan di bawa ke Tokyo Health Care institute and University , Shinagawa Tokyo. Ini adalah terakhir kalinya aku berobat, aku sudah lelah. Keramaian Bandara Internasional  Haneda, kesibukan masing-masing individunya, karakteristik wajah-wajah Asia yang membuatku terkucil.

            “Chel, kamu tunggu sini dulu ya?”, papa memesan taksi bandara. Bahasa yang tak umum untukku membuatku sangat terganggu. Keterbatasan Bahasa antara aku dan orang-orang Jepang juga membuatku sangat sulit berkomunikasi. Aku melempar pandangan pada sebuah banner berucapkan ‘selamat datang’ dan huruf yang tak bisa ku baca.

 “yo…ko–”, aku mengeja huruf-huruf yang dapat ku baca namun, saking asiknya aku dampai menabrak seseorang.

            Ia membawa banyak scroll, jilid-an modul dan beberapa buku tentang kedokteran. “ah! Oremo sei-desu sumimasen! Sorry! Maaf-maaf!”, ia mengulang permintaan maafnya berulang kali sambil menundukan kepalanya dia kelihatan seperti mahasiswa yang di kejar-kejar deadline skripsi. Aku membantunya memunguti barang-barang yang terjatuh

 “ah, gapapa biar saya yang beresin sendiri”. Baru pertama kali aku melihat ‘cowok’ sesopan dia aku mengamati secara detail gerak-gerik serta tubuhnya.

“kamu orang lokal kan?”, ujarku yang baru ngeh orang ini memiliki pupil biru safir dan kulit yang putih cenderung agak pucat.

            “ho-oh saya orang lokal, ini cuman soft lens kok haha”, tawanya memasukan beberapa buku dan kertas yang ia bawa ke dalam tas.

“kamu dokter?”, tanyaku.

“bukan, masih mahasiswa semester akhir”, jawabnya simple menyemprokkan tas ransel yang ia bawa ke punggungnya—semuda ini? Mahasiswa semester akhir?

“jurusan apa?”, tanyaku yang masih penasaran memerhatikannya mengikat tali sepatu.

“internis, subspesialisasi hematologi sama onkologi medik”, jawabnya mengencangkan ikatan tali sepatunya.

 ‘Apaan tuh?’ Batinku.

            Ia berdiri meregangkan punggungnya yang sedari tadi membungkuk. Ia lebih tinggi kira-kira 15 senti dariku. “aku Michel”, aku membungkukan tubuhku sampai membentuk sudut setengah dari busur derajat—ia terkekeh melihat tingkahku yang ‘konyol’

“kenapa? Kok ketawa sih?”, aku menatapnya aneh.

“15 gakui de iia, cukup 15 derajat aja bungkuknya”, ia melepas tawanya membuat kami jadi pusat perhatian orang yang lalu-lalang.

“ah, telat! Jaa nee? Mata!”, ia melambaikan tangannya meloyor pergi—“eh tunggu! Namamu!”, aku menjulurkan tanganku seperti scene yang ada di film-film.

            “h… ternyata semua cowok tuh emang sama, modus doang”, aku mengutuki cowok yang baru kutemui barusan sambil menggesekan sepatu ku.

“yuk, taksinya udah nyampe ntar kita langsung ke hotel aja”, mama menggandeng tanganku aku masih memandangi dimana si cowok yang baru kutemui itu pergi. Kurasa aku akan membenci cowok yang tadi dan mengkategorikan dirinya sebagai ‘cowok absurd’

Sampai Menutup MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang