Tangis awan di langit Tokyo mulai mereda, matahari malu-malu menunjukan wujudnya memberi pantulan cahaya dan genangan basah pada jalan-jalan yang ramai, warna cerah payung pejalan kaki ikut serta mewarnai suasana basah tersebut. genangan air yang menyiprak ketika di lindas kenaraan roda empat tak mau ketinggalan.
kaki gesit yang di alasi sepatu kets hitam memacu kecepatannya dengan angin. nafas yang terengah-engah seolah diabaikannya, rambut hitamnya yang masih terlihat belum di sisir bergoyang mengikuti arah kemana kepalanya. Akhirnya kaki itu sampai di tempat yang ia tuju.
Ia menarik nafas dalam dan mulai berjalan lebih santai, nafasnya yang masih tak teratur membuatnya sedikit sesak. Kemudian ia berhenti sejenak melihat tali sepatu kanannya terlepas—ia mulai menaiki anak tangga yang sudah menunggunya. Ia mengetuk sebuah ruangan, di sahuti suara seorang perempuan–ia membuka pintu di hadapannya.
“tumben pagi?”, ujar dokter Ana membenarkan kacamatanya dan kembali fokus pada tumpukan kertas dan komputer di hadapannya.
“sekali-sekali lah dok, masa telat mulu ah?”, ujarnya sambil merapikan kertas-kertas yang berserakan. Secarik ketas menarik perhatiannya—membacanya dengan teliti—tentang anastesi.
“kamu terarik bidang anastesi? Katanya mau jadi internis”, wanita paruh baya itu memiringkan kepalanya ikut membaca apa yang di pegang mahasiswanya itu.
“nggak kok, cuman menarik aja sih, boleh saya simpen gak?”, tanyanya kedua bola matanya kembali menyisir deretan tulisan-tulisan tersebut. “boleh aja siih, tapi emang kamu ngerti?”, jawab dokter Ana kembali duduk dan menyilangkan kakinya mahasiswanya itu hanya tersenyum cengar-cengir. “hmm kamu ini”, ia kemudian menaruh tangan kananya di pipi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Menutup Mata
RomantizmApakah ini hukuman untukku? apa kah salahku tuhan? Apakah kau sudah membenci hamba-Mu yang satu ini Michel bertemu cowok misterius yang menabraknya di bandara yang ternyata adalah asisten Dokter yang merawatnya di Rumah Sakit. Bisa di bilang kata pe...