Setelah kejadian ini, Yuki selalu ikut dalam kunjungan pasien dokter Ana, sesekali ia mencatat bagian penting dari kalimat sang dosen di note kecil yang ia buat. Hari-hari berlalu cepat sangat cepat, lebih cepat dari kemarin, lebih cepat dari bulan-bulan sebelumnya.
Ini hari dimana aku harus meninggalkan kota Tokyo juga kenangan di dalamnya. Aku melamun kearah jendela jendela kaca yang memantulkan sinar matahari yang menyilaukan, sembari memberikan tanganku pada suster yang melepas infusku, menyadari hal itu aku kembali teringat Yuki. Ia tersenyum padaku, “dokter pasti lulus dengan nilai terbaik, dan pasti akan nyusul nona ke amerika”, ujarnya tersenyum aku membaca name tag yang terpasang di bajunya, Hana.
Aku jadi teringat kata Yuki, bahwa nama merupakan perwujudan tokoh si pemiliknya. Hana, artinya bunga. Mungkin ia akan membuat orang lain bahagia seperti bunga pertama yang mekar pada musim semi. “makasih ya, Hana”, ia menggelengkan kepalanya dan kembali menatapku.
“aku yang harusnya bertrimakasih sama nona Michel”, ia tersenyum tipis dan kembali fokus pada infusku. Aku hanya tersenyum dan sedikit heran dengan kata-katanya tadi.
“oh iya, Haneda-san bilang, Haneda-san akan berusaha menyusul nona ke airport”, perasaanku yang tadinya di kerubungi badai mulai kembali berbunga setelah mendengar kalimatnya tadi.
“oh ya?”, senyumku. Dimitri menatap mereka berdua dan hanya diam beberapa saat sebelum ayah Michel menanyainya sesuatu.
Datanglah Yuki, aku akan menunggumu sampai detik terakhir. Aku berjalan keluar gedung Institute, Hana menepuk pundakku menunjuk gedung serbaguna Universitas tersebut, “Haneda-san ada di situ”, bisiknya tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya.
Ada awal ada akhir, mungkin berharap Yuki akan datang ke airport itu mustahil ini mungkin akhir dari perjumpaan kami selama ini. Aku melihat bangunan tersebut makin menjauh namun pantulan kacanya masih terlihat, ini bukan akhir, pikirku. Bangunan pencakar langit dan orang-orang sibuk yang berjalan dengan terburu-buru menjadi tontonanku dalam diam di mobil, Dimitri terus memperhatikanku—dan aku sadar akan hal itu. “hey”, ia menyapaku yang hanya ku tanggapi dengan senyuman tipis.
Apakah kamu akan menggapaiku seperti gedung-gedung tinggi ini, atau kamu akan sibuk dan melupakanku seperti orang-orang itu? Perasaanku semakin sesak dan perih ketika aku mengingat momen-momen kami berdua. Aku menatap layar handphoneku berharap Yuki akan menelpon. “Michel, kita sampai sayang, ayo turun?”, mama membuka pintu mobil yang membuat lamunanku buyar, sudah sampai toh.
Secara otomatis jariku mengirim sebuah pesan singkat pada seseorang, di mana aku berada dan kapan aku pergi meninggalkan Tokyo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Menutup Mata
RomanceApakah ini hukuman untukku? apa kah salahku tuhan? Apakah kau sudah membenci hamba-Mu yang satu ini Michel bertemu cowok misterius yang menabraknya di bandara yang ternyata adalah asisten Dokter yang merawatnya di Rumah Sakit. Bisa di bilang kata pe...