Bagian 2 : Rencana Apa Yang Kau Buat, Tuhan?

315 11 0
                                    

Ini pagi pertama di Tokyo, menjadikan atmosfir yang sangat berbeda bagiku yang tak biasa tinggal di kota Metropolis sepadat ini. Aku menyibak selimutku dan bersiap untuk pergi ke Tokyo Health Care Institute yang dimana aku akan di rawat secara intensif. Orang bilang itu tempat kuliahnya mahasiswa tajir.

            Kira-kira 30 menit dari hotel kita sampai. Bangunan yang besar dan kaca-kaca yang memantulkan cahaya matahari aku di bawa ke sebuah kamar berwarna putih persis seperti di rumah sakit pada umumnya.

“dokternya datang 15 menit lagi ya, kalau infusan pertama habis tekan aja belnya”, suster meninggalkan ruangan setelah mengecek selang infusku terpasang benar. Aku pengidap kanker stadium 2 dan aku tak tahu apa yang harus ku lakukan lagi—lebih baik mati.

            “pagiii… Michel Artha Alphachia”, sapa seseorang muncul dari balik tirai. wanita paruh baya 30 tahunan rambut coklatnya di gelung ke atas memakai rok hitam tiga per empat, kemeja putih dengan kacamata bertengger di hidungnya. Ia membawa beberapa file dan hasil ronsen di tangannya. Dan asistennya yang membuka tirai juga gordyn putih membuat ku silau—tunggu! Cowok ini?

            “cek tensinya yah!”, ia menginstruksikan asisten yang ia bawa untuk mengukur tensiku. Aku segera menarik tanganku dengan cepat menunjuknya, “kamu!”.

“eeh ketemu lagi? Takdir namanya ya?”, ia melirik iseng padaku sambil memasang alat tensi aku yang masih terheran menatapnya sinis.

“kok kamu bisa di sini sih?!”, seruku dengan nada agak tinggi.

 “duh kalo masalah cewek aja dia cepet kenalan, kalian udah saling kenal nih ceritanya?”, lirik dokter kearah cowok di sebelahku ini. “apasih dok, ngibul ah!”, sahutnya membantah.

            “oh iya saya Ana Yamamori, kamu boleh panggil saya dokter Ana aja”, sang dokter tersenyum memandangku. “kayaknya Michel udah kenalan ya sama mahasiswa saya?”, oh jadi cowok ini mahasiswa  dokter Ana?.

 “dia sih udah tau namaku tapiiiii aku gak tau nama dia!”, aku menekankan kata dia di kata-kataku tadi.

“ooh kok bisa? Yaudah, dia  Yuki Haneda kayak nama cewek ya?”, dokter Ana memperkenalkan Yuki padaku.

“Yuki to yondekudasai, panggil Yuki aja”, ujarnya melepas alat tensi. “hmm gimana?kayaknya Michel mulai tertarik nih sama mahasiswa saya?”, dokter Ana duduk di sebelahku melirik Yuki yang mengecek tetes infus yang terlalu cepat.

 “iih apaan? Dia? Eww”, aku meninggikan nadaku.Sementara aku sibuk mengobrol dengan dokter Ana dan Mahasiswa anehnya, papa dan mama mengurus administrasi di lantai dasar sedari tadi.

“nih ya dok kalo aku sampe suka sama dia aku pasti bakalan sembuh deh sumpah!”, aku mengucap sumpah serapah karena memang aku sudah tidak punya semangat hidup lagi, mereka sudah hilang enam bulan yang lalu.

 “ati-ati suka bener”, celetuk Yuki menaruh botol kecil di toilet. “wadah buat tes urine nya saya taruh atas wc ya”, lanjutnya dari dalam kamar mandi—aku menggela nafas pelan.

 “apasih?! semua cowok tuh sama aja tau dok" ujarku keras-keras. “aah kamu bisa aja, oh iya perawatan kamu akan mulai besok yah! Semangat!”, seru dokter Ana mengepalkan tangannya “ayo dong! Semangat!!! Yeah! Michel bisa!!”, ia memegang erat tangganku kembali menyemangatiku yang terlihat hopeless dan menanggapinya dengan senyuman kecil. 

Sampai Menutup MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang