Aku menaruh tanganku di pipi. Bosan, Itu yang ada di pikiranku sekarang ini sudah jadi hari ke dua ku di Tokyo Health Care Institute dan aku mulai terbiasa dengan lingkungan sekitar. Tapi, tidak untuk si cowok absurd itu. Ia membuat hari yang harusnya baik malah hancur dengan hanya melihat mukanya. Menit-menit berlalu menjadi jam sekarang pukul 7 malam.
“gak ada sesuatu gitu di sini yang bisa di isengin”, aku membuka laci-laci berbahan besi tentu saja aku bosan karena aku hidup selama 48 jam tanpa ponselku yang tertinggal di hotel.
“duuh! Mau nelfon pake HP siapa?!”, aku mengacak-acak rambutku sambil duduk meringkuk menaruh kepalaku di atas lutut. Aku kembali mengacak-acak rambutku membuat infusku bergoyang di hanger nya.
“bete banget, kenapa sih?”, suara menyebalkan itu memasuki rongga telingaku membuat pendengaranku terganggu.
“pengen tahu banget sih!”, aku membentaknya dan mempererat tanganku.
Langkah kaki itu semakin dekat aku mendongakkan kepalaku, aku bisa melihat wajahnya yang tegas dari bawah ia berdiri di atasku atau lebih pantas di katakan melangkahiku! Ia mengatur tetes infus dengan tanggannya yang panjang, dasi bermotif garis yang ia pakai menjuntai mengelus hidungku membuatku gatal . ia memakai kacamata ber-frame hitam yang membuat seolah dirinya lebih ‘sedikit’ dewasa dari biasanya. Tatapannya yang tajam membuat mataku fokus pada mukanya.
Ia kembali menegakkan punggungnya yang tadi agak membungkuk melangkahiku yang meringkuk di depan lemari besi samping tempat tidur. Ok mungkin ini aneh tapi lama-lama aku terbiasa juga dengan tingkah tengil Yuki.
“kamu kenapa?”, ia berjongkok menyamai tinggiku aku memalingkan muka. Ia masih saja menatapku menunggu jawaban “hmm?”—lanjutnya.
“nggak apa-apa, bukan urusan kamu”, jawabku singkat.
“bete ya? Kalo gitu kita main yuk!”, ajaknya menarik lenganku. Aku masih diam tak bereming bertahan pada posisiku semula.
“ayo ah! Bediri!”, ia menarikku lebih keras—“sakit bodoh!”, akhirnya aku mengikutinya dengan wajah cemberut serta mulut bebek.
“aku sih gak punya mainan apa-apa”, ujarnya membantuku naik ke Kasur.
“hah? Jadi cuman ngerjain doing? Kh! Dasar aneh!”, aku menghujaninya dengan kata-kata pedas.
“tapi...”, ia mengeluarkan sesuatu dari mapnya—“apaan”, sahutku ketus.
“jeng-jeng!!! Crossword”, ia memamerkan kertas koran mingguan dengan berjuta huruf yang nggak sama sekali ku mengerti.
“apaan tuh?”, masih dengan nada ketus yang tadi aku menatapnya tajam—“ih sadis banget ah! Bagus di bawain ginian”, celetuknya.
“kamu ini ya!!!!”, aku menggigit gigiku dan membentuk jariku menyerupai cakar. Dan ia merespon dengan tawaan yang menyebalkan.
“kamu kan belom terlalu bisa Bahasa kita, jadi aku bawain ini deh sekalian ngilangin bete”, tuturnya. Melihat aku yang masih cemberut membuatnya penasaran.
“lagi pms ya?”, ujarnya menyelidik.
“apaan deh sotoy banget”, aku menoyor kepalanya. Aku pikir aku mulai terhibur.
“nah gitu dong! Aku bakal lakuin apa aja deh asal kamu sembuh, janji!”, seru Yuki di selangi tawanya
“apasih nggak banget deh”
lama-kelamaan ku pikir Yuki orangnya baik juga. Ia selalu datang membawakan crossword dari koran mingguan dan aku mulai mengerti Bahasa yang mereka gunakan.
Tawa dan canda kami habiskan bersama, hubungan kami semakin dekat-dan dekat. Kondisi ku juga semakin membaik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Menutup Mata
Любовные романыApakah ini hukuman untukku? apa kah salahku tuhan? Apakah kau sudah membenci hamba-Mu yang satu ini Michel bertemu cowok misterius yang menabraknya di bandara yang ternyata adalah asisten Dokter yang merawatnya di Rumah Sakit. Bisa di bilang kata pe...