Bagian 6 : Aki No Niwa ~the Autumn Garden~

193 9 0
                                    

       Karena kesehatanku yang mulai membaik dokter Ana membolehkanku untuk jalan-jalan di sekitar area Tokyo Health Institute. Aku dan Yuki sering menghabiskan waktu di taman dengan pohon rindang berdaun kecoklatan, ya sebentar lagi musim dingin.

         anak-anak bermain gembira menebarkan dedaunan yang berguguran. Aku tersenyum melihat tingkah-tingkah polos mereka. Kadang hatiku berdenyut ngilu seakan aku iri pada mereka yang bisa bermain tanpa ada beban pemikiran atau sesuatu yang memberatkan hidup mereka.

            Yuki melirik ke arahku sambil tersenyum. Ia lalu memungut sesuatu dari tanah menyodorinya kepadaku. “nih buat kamu, buat kenang-kenangan bahwa kamu pernah ke tempat ini”, Yuki tersenyum lembut.

“biji pinus, makasih ya?”, tawaku.                     

“sama-sama”, ujarnya.

“ssssh mulai dingin nih, kamu gak kedinginan?”, tanyanya mengusap kedua telapak tangannya.

“tapi aku masih betah di sini”, balasku menatapnya. Bola mata hitam itu balas menatapku—kami terdiam sejenak.

“bentar aku ambil sesuatu, jangan kemana-mana ya!”, serunya berlari menuju institute. Taman ini berletak di samping gedung tempat aku di rawat jadi nggak begitu jauh buat Yuki untuk berlari mengambil sesuatu. Aku kembali tertunduk sendu.

“onee-san ini buat onee-san”, seorang anak perempuan dengan baju hangat berwarna kuning cerah dengan syal merah menghampiriku. Ia memberikan gantungan berberbentuk boneka santa.

“buatku? Nanti di marahin mommy lho?”, balasku mengusap kepalanya.

            Ia menatapku polos dan tersenyum lebar menunjukan gigi serinya yang membuatnya tampak sangat imut.

“habis onee-san kelihatan sedih! Terus-terus Chiko jadi kasian”, Chiko memanyunkan bibir mungilnya.

“eh ada Chi-chan?”, Yuki mencubit gemas pipi gembil chiko.

“awwww! Sakit tahu”, seru Chiko memukul perut Yuki. Melihat Yuki yang kesakitan bukan aku tak kasihan tapi memang terlihat lucu aku tak bisa menahan tawaku.

“oh iya nih aku bawain baju hangat, ntar kamu sakit lagi”, ia membalutkan syal di leherku membuatku merasa nyaman dan membantu memasangkan baju hangat.

            Wangi parfum yang maskulin menyeruak memasuki hidungku, entah sejak kapan aku menyukai wangi parfum ini dan mambawaku ke awang-awang. “tau gak, sebentar lagi aku wisuda”, ia memecah keheningan di kepalaku. Ya seperti yang ia katakan dari awal kali kita bertemu bahwa Yuki adalah mahasiswa semester akhir. Aku memandangi wajahnya kali ini ia memakai kaca mata berframe metal yang terkesan amat simple tapi membuat kesan wajahnya jadi sangat dewasa, jauh dari umurnya yang baru 22 tahun.

“hmm bagus dong, abis gitu kamu jadi dokter dan bakal sukses yakan?”, aku tersenyum menatapnya yang tampak seperti kembang layu.

“kok layu gitu sih? Kamu kan selalu bilang kalo aku harus selalu semangat”, protesku mengguncang lengannya

“tapi aku gak yakin sih bisa lulus, belakangan ini pikiran ku kacau nilai ku juga agak turun”, ia menghela nafas panjang—“dingin nih masuk yuk, aku gak yakin kalo kamu bilang baju hangat yang aku kasih cukup bikin hangat”, ia mendorong kursi rodaku.

“ih! Kok tiba-tiba gak jelas gitu sih?”, seruku jutek melipat kedua tangan ku di dada mendengakan kepalaku menatapnya.

“Yuki, STOP!”, aku menahan kursi roda yang ku duduki ia hanya diam. Rambut hitamnya yang belakangan ini agak rapi menutupi kaca matanya.

“kamu bilang kamu akan ngelakuin apapun asal aku sembuh kan?”, ia masih terdiam.

“kita bikin janji yuk, di taman ini aku berjanji bahwa aku akan sembuh dari penyakitku dan juga kamu bakal lulus sebagai lulusan terbaik Tokyo Health Care University, ok”, aku mengucapkannya keras-keras menyodorkan jari kelingkingku ke arahnya.

            Ia menarik nafas panjang dan tersenyum padaku. “ok, tapi kamu harus sembuh ya?”, Yuki menyabut jari kelingkinku. Tangannya dingin, ini pertamakalinya aku bersentuhan langsung dengan Yuki.

“aku janji!”, seruku tersenyum lebar. Rasanya seperti aku ingin mengenalnya lebih jauh, aku tahu dari raut dan air wajahnya ia kesepian. Entah apa perasaan yang kumiliki pada Yuki tapi setiap aku berada di dekatnya jantungku…berdebar lebih cepat.

Tapi aku… tak tahu apakah ini yang dinamakan cinta?

Sampai Menutup MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang