Bagian 9 : Dimitri

142 10 0
                                    

        peran Dimitri di cerita author antah berantah ini nggak terlalu berpengaruh jadi kasian, di jadiin judul chap 9 aja deh maaf belakangan banyak pra-kata maaf ya...

        Merupakan sebuah kebahagiaan bagi seorang manusia dapat menemukan pasangan hidupnya sendiri, namun sepertinya kata itu bertolak belakang dengan keadaan ku sekarang. Di hadapanku berdiri seorang pemuda seumuran denganku, dia adalah putra dari rekan bisnis papa. Mungkin rencana ini sudah di rundingkan dari lama, tapi bagaimana aku tidak mengetahuinya?

            “Chel, kenalin ini Dimitri putra dari salah satu rekan bisnis papa di Yunani, dia calon tunangan kamu. Nanti kalau kamu udah boleh pulang kita akan urus pesta pertunangan kalian secepat mungkin”, papa tersenyum menatapku dan pemuda yang di panggil Dimitri itu secara bergantian. Aku hanya bisa tersenyum getir mendengar perkataan papa tadi.

“Chel, senyum yang manis dong jangan bikin mama malu ah”, mama berbisik di telingaku membalas senyuman tipis Dimitri yang selanjutnya menatapku lembut, semburat merah muncul di pipiku, menyadari itu aku langsung menundukan kepalaku.

            “ah ya, papa baru dengar dari dokter kalau kamu udah boleh keluar dari rumah sakit seminggu lagi?”, tanya papa memastikan. Sebenarnya kalau begini aku lebih memilih untuk di rawat lebih lama ketimbang pulang dan di jodohkan dengan orang asing yang sama sekali nggak ku kenal. Aku hanya menganggukan kepalaku tanda iya.

Bertepatan di hari aku harus kembali ke negaraku dan menjalani perawatan regular, hari itu juga Yuki akan di wisuda. Aku ingin sekali lagi bertemu dengannya. Setelah peristiwa malam Natal itu aku jadi mengetahui sosok Haneda Yuki yang sebenarnya dan ingin tahu lebih banyak dari itu. Di hari-hari terakhir perjumpaan kita Yuki malah sibuk dengan jadwal nya yang padat, aku paham bahwa kuliah fakultas kedokteran itu memang sangat rumit dan menyita waktu, tapi dia selalu meluangkan sedikit dari waktunya yang padat untuk bertemu denganku—walau sebentar.

Aku ingin memelukmu sekali lagi, aku ingin sekali lagi menatap matamu, aku ingin sekali lagi merasakan hangatnya nafasmu, aku ingin dapat mencintaimu walau itu tak mungkin.

Yuki, aku ingin kau di sampingku sekarang. Aku menggenggam tanganku erat meyakinkan diriku apa yang ku katakana adalah yang sejujurnya. “Papa, I have to tell you something, we have to love something we love, ya kan?”, aku menatap orangtuaku secara bergantian juga sesekali menatap Dimitri yang masih dengan senyumnya yang tadi. Hal itu membuatku tambah yakin aku akan mengatakan ini.

“ada orang yang sangat—yang benar-benar, mencintai Michel secara tulus, mencintai dan Michel cintai”, aku menundukan kepalaku. Mungkin ini jalan yang terbaik agar mereka mengerti. Aku berhenti sejenak menatap kepalan tanganku.

“mama nggak ngerti apa maksud Michel tadi”, ujar mama tersenyum heran sambil menggelengkan kepalanya, aku tidak ingin membuat mereka kecewa tapi, di lain sisi aku juga nggak ingin melukai perasaan Yuki.

            “aku ingin pertunangan ini di batalkan”, ujarku terus terang. Atmosfir di ruangan ini berubah gelap bagai ingin menelanku dalam lubang hitam.

“Michel, kamu bercanda kan?”, mama menaruh tangannya di pundaku. Papa hanya bisa diam, semuanya sunyi.

“Michel sudah dewasa ma, pa, Michel bisa menentukan apa yang terbaik buat Michel, baik itu karir maupun jodoh. Bahkan kalau aku bilang apa papa dan mama selama ini pernah meluangkan waktu denganku? Tidak! Bahkan kalian mungkin nggak tahu apa yang menjadi hobi maupun kesukaanku! Tapi orang itu mengerti—orang itu faham seperti apa Michel!”, aku kembali menatap mereka berdua yang terlihat kehabisan kata-kata.

            “jangan buat papa malu Michel”, beliau meninggalkan ruangan di ikuti Dimitri, mama yang masih menatapku dari tadi menghela nafas pelan dan berjalan menuju pintu.

“ini demi nama baik keluarga kita Michel, semuanya akan baik-baik aja kalau kamu mau menerimanya, pertunangan ini nggak bisa di batalkan”, mama menutup pintu da meninggalkan ku sendiri di kamar

            Awan menandakan akan turun hujan deras di langit Shinagawa, Tokyo. Seperti menyamai suasana hatiku. Aku mengintip keluar jendela kaca di samping kasurku, terlihat seorang yang ku kenali berlari menuju gedung pesis seperti pertama kali kita bertemu. Hujan turun tepat saat ia mencapai halte tempatnya berteduh, aku hanya bisa tersenyum melihatnya mengelap kacamatanya yang berembun.

            “Yuki, apa kamu sadar aku ada di sini?”, seperti mantra ajaib gumamanku tadi di sehuti lambaian tangannya aku membalas labaiannya. Yuki menunjuk handphonenya sambil terus meliat ke arahku. Ini seperti adegan di film yang ada di televisi maupun di bioskop. Aku menemukan satu pesan di handphoneku, dari Yuki! Isi pesan tersebut singkat tapi cukup membuatku tersenyum ‘ngapain di situ? Kayak jomblo aja nungguin ujan! Hahaha :P’

            Aku segera membalas pesan singkatnya itu, “aku bukan nunggu ujan, tapi nunggu kamu di sini, duh jangan geer ya?”, aku mengirim pesan tersebut dan langsung menghilang dari jendela, pipiku benar-benar terasa panas setelah dua hari nggak ketemu ssama Yuki. Aku merasa ada seseorang yang memperhatikan ku dari tadi. Seseorang membuka pintu dengan baju yang lembab dan kacamata berembun.

            “shhh, dingin amat sih?”, ia menyalakan penghangat ruangan dan tak sengaja menabrak meja di depannya. Aku hanya tertawa melihat tingkah konyolnya.

“Yuki”, aku memanggil namanya, Yuki hanya meng-‘hmm’-kan kalimatku tadi.

“kamu kemana aja, kok nggak pernah kelihatan”, aku mencoba menstabilkan nada suaraku yang mulai bergetar dan air di sudut mataku yang mulai menggenang. Ia menghapiriku dengan senyuman hangatnya. Berbeda dengan senyum Dimitri yang hanya pasang muka, senyum Yuki jauh lebih tulus di bandingkan dia.

            “aku di tunangin sama cowok yang nggak aku kenal!”, seruku memeluknya erat. Yuki balas memelukku. Pelukan yang hangat dari hati yang bersih seperti salju. “aku sayang kamu Michel, sugoku daisuki yo”,ujar Yuki yang di sambut anggukan dariku.

“aku juga”, jawabku yang sesegukan. Di balik pintu Dimitri memperhatikan apa yang terjadi di dalam ruangan.

“si Japan toh?”, ia tersenyum sinis.

Sampai Menutup MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang