10 - on platonic love being a real thing

91 17 12
                                    


Jessica yang baru selesai mengupas buah yang dibawa Sehun lalu memotongnya dadu, beranjak menghampiri ranjang kamar rawat Yuri. Ia mengambil duduk dikursi kosong di sisi Yuri lalu meletakkan piring berisi buah di atas nakas.

Tak ada konversasi antara keduanya. Yuri masih pada posisi sebelumnya tak bergerak sama sekali. Jessica menghela napas tipis setelah melihat air mata dipipi Yuri yang sudah mengering.

Menit berlalu lama, dan tubuh Jessica semakin bergetar kala kepalanya yang makin menunduk dalam.
"Yuri-ya, aku mohon luapkan segalanya padaku, aku ingin menjadi teman yang berguna untukmu" Jessica menggigit bibir bawahnya.

Keduanya terdiam sekian menit sampai lirihan serak dari bibir Yuri terdengar.
"Apa yang harus aku lakukan Sica-ya?" wajah gadis bersurai legam panjang tersebut tak memancarkan sinar.
"Mengapa aku harus jatuh cinta sesakit ini? Ketika aku memendam dan menahannya untuk diriku sendiri, maupun aku memperjuangkannya untuk menjadi milikku" sambung Yuri setelah menarik napas pelan.

"Apa ini balasan dari semua dosa-dosaku? Apa tidak cukup semua orang terdekat meninggalkanku? Perceraian orang tuaku karena kehadiranku, Ayahku yang memilih wanita lain dari pada menjalankan kewajibannya atas aku dan Ibu, sedangkan Ibu sendiri setelahnya meninggalkanku dengan semua uang yang mengalir tiada henti dari keluarga kayanya di antah berantah sana yang bahkan tidak mengetahui keberadaanku di dunia ini!" Yuri menarik napasnya yang sudah tersendat dengan susah payah berusaha tetap mengontrol laku.
Ia mengumpulkan emosinya pada genggaman tangan kuat yang di dalamnya terdapat bongkahan kusut sprei rumah sakit.

Air mata Jessica bercucuran tiada henti. Gadis berambut blonde tersebut hanya mampu menatap gadis di hadapannya dengan tubuh yang kini bergetar hebat. Ia tak kuasa untuk sekedar menyalurkan sisa kekuatan yang ia punya untuk Yuri.

"Bahkan semua penyakit apatis ditubuhku ini sudah kurasakan, dan aku masih tak tahu malu ikut campur dalam urusan pribadinya"
"Mungkin semua tadi alasan kenapa Luhan meluat terhadap eksistensiku" kini nada tenang keluar dari tubuh Yuri yang semakin bergetar.
"Kenapa aku tetap memperjuangkan cintaku padahal aku paham ia tak akan kumiliki? Sungguh bodoh!" Yuri sedikit terkekeh remeh di ujung kalimatnya.

"Aku bahkan rela menjatuhkan diriku dan membuang sisa harga diri jauh-jauh demi seorang pemuda dengan alasan yang kusebut cinta pertama, menutup kedua mataku dan mengharap rasa empatinya atas hidup menyedihkanku-"
"Melakukan hal bodoh yang menyebalkan dan mengganggu hak rahasia milik orang lain"
"Ya, aku berhasil membuatnya melihatku dengan dengki karena aku masuk ke dalam menjadi bagian buruk harinya menambah beban hidupnya" pandangan Yuri semakin mengabur sebelum beberapa bulir air mata menetesi pipinya lagi dan sekarang berubah menjadi air bah.

"Dan sialnya seperti itu lebih baik bagiku, lebih baik ia menatapku dengan sorot benci tak terhingga daripada tidak sama sekali karena malah akan semakin membunuhku lebih cepat dari penyakit ini" kedua tangannya masih meremas sprei putih tadi.
"Aku bodoh, sungguh bodoh!" gadis tersebut kini menunduk merutuki dirinya.

"Bahkan ketika kau hanya satu-satunya yang selama ini selalu ada di sisiku, tapi kenapa aku hanya memikirkan perasaan cinta bedebah ini?" Yuri beralih menatap dalam manik Jessica di hadapannya.
"Aku sungguh berdosa atas pertemanan ini Sica-ya, aku hanya memikirkan cintaku untuk seorang pemuda dan meyianyiakan pertemanan yang kau suguhkan dengan tulus dan sabar untukku" Yuri meraih punggung tangan Jessica lalu menggenggamnya lembut.

"Sekarang aku malah membuatmu menangis, aku sungguh tidak tahu malu" Yuri kini memegangi kedua tangan Jessica dengan erat seraya gadis cantik itu masih tersedu melimpahkan air mata.
"Maaf aku hanya bisa mengeluh" sebelah tangan Yuri kini terangkat menghapus tetesan air mata tiada henti pada pipi Jessica.

serenityWhere stories live. Discover now