roadside alchemist

144 23 2
                                    

.

Tetangganya adalah seorang alkemis yang membangun manusia buatan. Manusia buatan itu, atau homonkulus, dipekerjakan si alkemis sebagai pembantu, lalu dibuang begitu saja setelah komposisinya runtuh dalam setahun.

Alkemis itu selalu mencari cara agar homonkulusnya tetap awet, dan selalu saja gagal.

Ia sudah dilarang keluarga untuk mengunjungi si tetangga ahli kimia, tapi larangan sungguhlah menawan, dan sejak bocah dirinya sudah diam-diam berkunjung. Sang alkemis tidak pernah menganggapnya penting; biasanya yang menemani tamu justru sang homonkulus, mengajaknya bermain atau mengajari membaca. Bocah itu tumbuh jadi remaja dengan melihat punggung berjubah sang alkemis, berkutat di meja, mempelajari atau bereksperimen sesuatu, sementara homonkulusnya menyiapkan hidangan di dapur.

Para homonkulus datang dan pergi, lahir dan mati. Semua berwajah sama dan bersuara sama dan berbadan sama dan berbintik-bintik wajah yang sama, hanya dari detil-detil kecil perilaku yang memberitahu kalau mereka makhluk-makhluk berbeda, tiap tahun digantikan yang baru.

Namanya juga sama. Eudda. Tiap tahun ia berkenalan dengan Eudda. Para homonkulus hanya punya satu nama itu, Eudda, nama seorang hantu, nama seorang pemuda yang sudah mati bertahun-tahun lamanya. Sesepuh desa yang cerita akan manusia asli bernama Eudda, mati dimakan serigala di usia yang amat belia-- baru enam belas tahun.

Sama dengan usianya saat ini. Kalau dipikir, ia juga punya warna rambut dan bintik-bintik yang sama dengan Eudda, tapi sang alkemis takkan pernah melihat ke arahnya; ia lebih sering mengobrol dengan para homonkulus daripada pencipta mereka.

Saat para homonkulus itu mencapai batas waktu, mereka akan meleleh pelan-pelan bagai lilin. Sakaratul maut yang menakutkan; pertama kali menyaksikannya ia ketakutan, tapi sekarang ia sudah biasa-- sudah biasa, menyedihkan. Sehingga tahun ini, ketika homonkulus yang ketiga belas perlahan mencair, ia menggapai tangan manusia buatan itu dan menggumam, "Eudda, jangan pergi."

Eudda-- sang homonkulus, tersenyum terharu, lalu habis meleleh. Tak ada yang bisa dilakukan. Alkemis itu bahkan tidak keluar dari laboratorium tempatnya bekerja, sehingga ialah yang mengepel sisa-sisa busuk dari Eudda ke-13.

Sang alkemis perfeksionis, tidak mau meluangkan waktu untuk produk gagal berbatas waktu. Sudah tiga belas homonkulus dibuat patah hati, selamanya tak bisa menjadi yang sempurna.

Ia merenung, menopangkan dagu di atas tongkat pel, tahu bahwa semua ini hanyalah upaya nihil. Manusia bisa membuat manusia tapi mustahil membangkitkan orang mati yang sudah tiada. Sekali suatu jiwa pergi, ia akan pergi.

Seminggu kemudian akan ada Eudda ke-14, tersenyum menyambut seperti biasa, menyapu di depan rumah.

Almost Love, But Not Quite [BXB]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang