Ada alasan mengapa aku memilih menjadi manusia ketus. Pada dasarnya, aku memang bukan manusia gila peduli. Ditambah dengan keadaan sibuk yang mengharuskanku menjadi dingin ke semua orang--agar mereka tidak memanfaatkan waktuku.
"Aku hidup bukan untuk nyenengin semua orang, Vin," jawabku ketika Calvin bertanya mengapa aku bersikap dingin ke banyak orang.
"Terus kenapa ke gue enggak?" tanyanya. Retoris, karena mungkin ia sudah tahu jawabannya. Bukan. Bukan soal aku menyukainya, lebih karena aku memang peduli padanya. Ia termasuk salah satu entitas yang aku spesialkan.
"Ya... karena kamu temenku?" jawabku dengan bertanya.
"Temen lo banyak kali,"
Aku menggeleng. Daftar pertemenanku sudah lama usang. Beberapa dari mereka hanya bertahan di awal-awal semester satu dan dua, setelahnya kami menjadi individu dengan urusannya masing-masing.
Namun tak dapat kupungkiri, beberapa manusia datang dan menjadi teman, bahkan di keadaan tak terduga. Anisa, pacar Calvin, contohnya. Aku tidak pernah suka dengannya sebelum Calvin memperkenalkannya secara langsung.
Waktu itu malam-malam pukul tujuh ketika hujan sudah reda, mereka berdua datang ke kafe tempatku bekerja. Saat itu aku sudah menyelesaikan shiftku, ingin cepat-cepat pulang. Tapi ternyata Calvin mencegahku pulang dengan berkata ingin mengenalkan kekasihnya.
"Nis, ini Fanya, temenku. Fan, ini Anisa, pacar... gue," ia mengenalkan kami. Aku tersenyum, mungkin kaku. Calvin pasti tahu gerak-gerikku.
"Fanya," aku mengulurkan tangan. Ia menjabat dengan menyebutkan namanya.
"Asli Jogja?" tanyanya kepadaku, berbasa basi.
"Iya, asli sini. Mbaknya asli sini juga?"
Ia menggeleng. "Enggak. Saya asli Surabaya, Mbak,"
Aku menggaruk tengkukku, bingung dengan kecanggungan ini. Calvin akhirnya memancing beberapa topik obrolan yang sebenarnya aku sudah muak membahasnya; kuliah, rencana masa depan, kegemaran, apapun itu.
"Dek?"
Aku terperanjat dari ingatan singkatku. Astaga, akhir-akhir ini aku sering sekali melamun, tidak tahu alasannya apa.
"Iya?"
"Hari ini pulang tepat waktu ya? Jangan lembur terus,"
Senyuman tercetak di wajahku. Walaupun bukan senyum tulus, tapi aku yakin ia tahu aku bermaksud untuk berterimakasih. Memang benar aku harus pulang cepat hari ini. Rasanya badanku pegal semua akibat lembur tiga hari berturut-turut.
"Makasih, Bu,"
─────
Angin menerbangkan helaian rambutku yang lolos dari ikatannya. Petang ini aku sedang duduk di lantai teras kamar kosku yang sempit, memandangi gemerlap cahaya kota sejuk ini.
Mungkin akan menyenangkan kalau aku bisa merasa aman berjalan-jalan di malam hari sendirian. Di kotaku lahir, aku masih berani mengeksplor tempat-tempat di sekitar rumahku dengan kaki. Sebagian orang mengenalku, aku merasa aman. Sedangkan di sini, individualisme terasa sampai akarnya.
Bukan soal kotanya, tapi lingkunganku tinggal saat ini. Saking menyendirinya kami, sampai-sampai aku tidak menyadari ada yang hilang dari apa yang kusebut lengkap. Aku kesepian.
Calvin, Mama, Rendi, Anisa, Rijal, Adit. Sebut saja semua manusia yang aku kenal. Semuanya sibuk ditelan pekerjaan dan urusan masing-masing. Coret Rijal, ia mantan paling menyebalkan.
Kadang, terpikir olehku merokok. Tapi, aku teringat kembali bagaimana Mama menamparku saat beliau menemukan sebungkus rokok di laci kamarku. Saat itu sebenarnya aku sudah berencana berhenti karena cukainya naik--tinggal menghabiskan beberapa batang yang tersisa saja. Tapi... astaga, tamparan itu masih terasa sekali di pipiku hingga sekarang.
"Kamu pikir kamu keren dengan ini? Mama pikir kamu bisa Mama andelin, Fanya!" marah Mama setelah menamparku, menyodorkan bungkusan rokok yang sudah habis tiga perempatnya.
Saat itu aku ingin meluapkan semua emosiku dengan berkata bahwa aku tidak minta Mama untuk mengandalkanku, bahwa aku juga punya urusanku sendiri. Tapi, aku tidak tega. Mama menangis setelah melihat pipiku yang kemerahan bekas ditampar.
"Papa kamu...meninggal karena rokok, Fanya," ujarnya sesenggukan.
Lalu aku menangis. Tidak pernah terpikir olehku untuk menanyakan alasan kepergian Papa. Aku masih kecil saat Papa pergi dan aku tidak pernah berani bertanya semenjak melihat Mama menangis berhari-hari setelah pemakaman.
Mas Faiz selalu bilang kepadaku bahwa hidup tidak selamanya baik. Yah, aku mengiyakan saja saat itu. Sampai ia jatuh sakit dan seluruh beban tanggungan keluarga ikut jatuh ke pundakku. Rendi, ah ia tak sebegitunya bisa diandalkan di masa-masa itu. Sudah beruntung ia masih mau kooperatif.
jinendra
neng, ayo jalan-jalan
:(Aku terkekeh. Jinendra. Manusia paling tidak jelas sedunia itu hampir sama seperti Calvin. Melanjutkan studi di kota yang tidak ia tahu setiap sudutnya dan mengenalku dari sekian banyak orang. Terkadang, aku merasa beruntung mengenalnya. Setidaknya ia terus datang ketika aku berusaha pergi. Ia menghapuskan sedikit rasa sepi yang terlalu sering memelukku.
Jinendra, ia benar-benar seperti kemenangan Indra. Kalaupun ia belum berpikir ia menang, setidaknya aku tahu ia sudah mengalahkan egoku untuk menjadi manusia paling ketus di dunia.
─────
notes :
aku kasih peringatan. chapter selanjutnya berpotensi mengandung lebih banyak cringe, hati-hati ya. hehe.
anyway, sehat-sehat ya kaliannn
KAMU SEDANG MEMBACA
ii. praduga terduga
Fanfictionhanya perihal jatuh hati yang sama sekali tidak terprediksi published on jan 1, 2021