Yang aku tahu ketika aku bangun dari tidur-paling-tidak-enak-sepanjang-hidupku adalah Jinendra sedang menggenggam tanganku. Aku menatapnya bingung. Kenapa ia tidur dalam keadaan duduk dengan tangannya menggenggam tanganku?
Pandanganku mengedar. Ah... rumah sakit. Aku hanya teringat saat-saat sebelum terjatuh dan kesadaranku hilang sepenuhnya. Waktu itu perutku memang agak nyeri sehingga aku menelepon Jinendra kalau-kalau ia bisa menjemputku di kantor. Sudah agak malam sebenarnya saat itu, aku sudah persiapan kalau-kalau teleponku tidak diangkat.
"Ji? Bisa jemput di kantor gak?"
"Apasih yang enggak buat kamu?"
Aku tidak ada tenaga untuk mendamprat kata-kata gombalannya jadi aku iya-iya saja. Sekitar dua puluh menitan, batang hidungnya terlihat. Ia melambai ke arahku.
Kakiku membawaku menghampirinya. Namun, kunang-kunang sialan. Pandanganku menggelap dan rasa sakit di perutku semakin intens. Aku meraih lengannya, memejamkan mataku untuk menahan sakit.
"Kenapa Fan?"
"Kok... gelap ya Ji?"
"Kan malem yang..."
Ck, tidak ada gunanya memang. Lalu, kesadaranku hilang.
Kembali ke tempatku sekarang ketika aku masih fokus memperhatikan Jinendra. Ia masih setia memegangi tanganku yang diinfus. Tanganku yang lainnya kugerakkan untuk mengelus rambutnya yang halus.
Kejadian-kejadian di masa lalu berkelebat. Masa-masa ketika ia memperkenalkan dirinya sebagai teman Calvin, atau saat ia pertama kali menungguku di depan kantor tempat aku bekerja. Atau ketika ia bercerita soal mantannya ketika aku bertanya.
"Bukannya kamu habis putus ya?" tanyaku agak serius ketika ia bercanda memanggilku dengan sebutan "yang". Aku baru menyadari bahwa ia adalah manusia paling slengean di dunia setelah beberapa minggu ia rutin mencari topik obrolan, beberapa saat setelah aku bertanya tentang mantannya itu.
"Gue?" tanyanya, menunjuk dirinya.
"Siapa lagi?"
Ia meletakkan mangkuk baksonya. "Ini pasti gosip dari Bang Ino,"
Aku tidak menjawab dan memilih untuk memakan baksoku.
"Gue putus waktu ospek dulu. Ospek... udah bertahun-tahun yang lalu anjir," ujarnya. "Eska emang sering bilang gue habis putus padahal udah lama banget,"
Aku mengangguk-angguk. "Oh gitu,"
"Kenapa kok tanya begitu?" tanyanya.
Aku mengangkat bahu. "Gak. Tadi kamu bilang "yang" ke aku,"
"Oalah hahahahhahahaha," ia tertawa lebar. "Tapi itu emang khusus buat lo,"
Aku hanya menampilkan ekspresi heran yang kelihatannya agak ketus. Pasalnya ia langsung mengucapkan kata maaf.
"Maap, maap,"
Aku terkekeh kecil. "Sans,"
"Ji?" panggilku lirih.
Jinendra, aku takut. Calvin benar ketika ia bilang aku terlalu takut untuk mengambil keputusan penuh risiko. Termasuk urusan jatuh cinta. Aku takut jatuh terlalu jauh. Aku takut menyakiti, Ji.
Benar aku jatuh cinta dengan manusia paling absurd yang ada di sampingku ini. Tapi, aku masih takut. Apakah ketakutanku akan terulang lagi? Seperti saat aku menyukai teman baikku? Ketika aku memikirkan apakah uang adalah alasannya?
Jinendra, katakan padaku nanti ketika kamu bangun. Bukan itu, 'kan, alasanku?
"Fanya?" panggil Jinendra. Tangannya meraih tanganku yang ada di kepalanya.
"Ya?" aku terkejut.
"Jangan radang perut lagi ya? Aku gak tega liat kamu pingsan," ujarnya.
Rasanya nyaman, mempunyai seseorang yang selalu ada untuk kita. Semoga, buatku, orang itu kamu ya, Ji?
─────
notes :
aku akan double update lagi sabar yaaaaakkk.
anyway ini pendek banget gak sih wkwkwk rasanya kayak singkat padat tapi tidak jelas gitu.
yaudah. HAVE A NICE SAT NIGHT

KAMU SEDANG MEMBACA
ii. praduga terduga
Fanfictionhanya perihal jatuh hati yang sama sekali tidak terprediksi published on jan 1, 2021