04

121 25 12
                                    

Berbahagia, dengan siapa saja atau tentang apa saja, berarti berada dalam keadaan atau perasaan senang dan tenteram, bebas dari segala yang menyusahkan. Bagian dalam benakku sejenak mengamini, namun juga menyadari bahwa aku belum pernah mencapai keadaan itu lagi setelah sekian lama.

Langit mendung mulai menumpahkan hujannya. Membuatku mendengus jengkel karena aku lupa membawa jas hujan hari ini. Tidak ada pilihan bagiku selain menunggunya reda, yang berarti aku harus menghabiskan beberapa jam lagi di kubikel sempitku. Beruntung saja ada beberapa yang lembur sehingga aku tidak perlu duduk-duduk gelap-gelapan sendirian. Hah, besok Sabtu padahal.

"Gak pulang, Dek?" tanya salah satu seniorku yang ternyata masih menetap di dalam kantor.

"Enggak Bu. Hujan. Saya lupa bawa jas hujan," jawabku.

"Loh, kamu bawa motor? Tadi kayaknya ada yang nyari soalnya makanya saya kira kamu di jemput,"

Keningku berkerut. "Ada yang nyari saya Bu?"

"Iya. Kayaknya tadi tanya-tanya di depan. Kamu gak ngecek hapemu, ya?"

Oh iya. Ponsel. Aku buru-buru membuka benda kotak itu. Ah...

jinendra
temenin gue dong
gue udah di kantor lo nih
aqoe sendirie
hue

─────

Motor sebenarnya tidak pernah bersahabat dengan hujan. Pun aku kalau harus kebasahan. Namun sepertinya manusia yang kerap dipanggil Aji ini berbeda dariku 180 derajat. Ia suka main hujan, katanya. Maka dari itu ia, akhirnya, sungguhan mengajakku keliling kota. Hujan-hujan.

"Gue bawa jas hujan dua, santuy," ujarnya ketika aku memprotes.

"Ih, tapi aku gak bawa sandal, Jinendra,"

Ia lagi-lagi cemberut. Astaga.

"Iya deh, iya aku lepas sepatu aja. Tapi aku titip di jok motormu," ujarku pasrah.

"Oke yang," jawabnya santai. Ia mungkin tidak sadar seberapa besar keinginanku menimpuknya. "Motor lo tinggal aja, tadi gue udah bilang ke satpam,"

Suasana mencair ketika motornya sudah keluar dari kawasan kantor. Kami tidak banyak bicara anehnya.

Satu hal yang aku tahu setelah mengenal Jinendra lewat dirinya sendiri. Ia ternyata lebih pendiam daripada yang aku terka. Iya benar ia tidak bisa diprediksi seluruh tindak tanduknya. Bisa terkadang banyak sekali cerita atau sekadar banyolan unik yang seringkali tak kupaham maksudnya, bisa juga tiba-tiba banyak diam.

"Mau makan gak?" tanyanya.

"Sepatuku gimana?" tanyaku sedikit berteriak. Masalahnya suara angin, hujan, dan juha helm memiliki andil dalam menghalangi percakapan.

"Apa!?"

See?

"Sepatuku!" ulangku, memajukan kepalaku agar sejajar dengan telinganya. "Sepatuku gimana?"

"Gak usah pake sepatu! Gue temenin deh!"

"Lah kan kamu pakai sandal?!" tanyaku bingung. "Sama aja aku nyeker sendirian dong?!" (nyékér berarti tidak memakai alas kaki)

"Gue temenin lah?!"

"Oke! Bener ya?" tanyaku, mengonfirmasi.

"Peluk dulu tapi," celetuknya yang menuai cubitan dariku di lengannya.

"GAK USAH DITEMENIN!"

─────

notes :

aku bingung. dan cringing. ini cringeworthy bngt asli dah. rompis abis but have a nice day everybody

ii. praduga terdugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang