Dewasa ini, manusia sedang mencari jalan untuk menjadi manusia. Bahagia dengan caranya, melihat dunia dengan sisi positifnya. Di lain sisi, ada aku dan segelintir lainnya yang masih berjuang mencari uang: prioritas utamaku sejak aku beranjak dewasa.
Aku mengingat bagaimana tertekannya aku ketika tidak punya uang. Beberapa bulan yang lalu ketika aku melakukan kesalahan dan gajiku dipotong. Uang yang kuterima saat itu bahkan hanya cukup untuk hidup di sini selama sebulan--kalau hemat. Namun, Mama membutuhkannya lebih dari aku.
Pengorbanan kecil, kata beliau, akan menemui balasannya di kemudian hari. Aku berusaha berpikir rasional. Tinggal bilang aku begini begitu, Mama pasti paham. Tapi ada sisi rasa ketidaktegaan yang membuatku berpikir bagaimana beliau berjuang mendapatkan uang untuk biaya berobat kakakku, atau dulu saat ia banting tulang sampai tidak makan untuk membayar SPP adikku, juga saat ia membagi tiga perempat makanan yang ia beli di pasar untukku. Lalu, aku mengirim seperempat uangku.
Aku berkata lewat telepon, "Maaf Ma, aku kemarin luput jadinya gajiku dipotong. Maaf ya Ma?" (luput dalam bahasa jawa berarti salah)
Kendati aku tahu beliau tidak apa-apa, aku tetap merasa bersalah. Hah, andai saja saat itu aku lebih teliti lagi.
"Cowok minggu lalu itu temen lu?" tanya seorang rekanku, kubikelnya berada tepat di sebelahku.
"Iya," jawabku kalem.
"Bukan pacar lu?" tanyanya yang menyebabkanku memandang kosong layar laptop kantor.
"Bukan," jawabku singkat. "Temen aja,"
"Keliatan deket padahal," ujarnya. Aku mengedikkan bahu.
"Lu tuh dingin banget. Gua kaget waktu tahu lu ada temen," celetuknya.
"Kalau dingin terus gak punya temen?" tanyaku, agak sedikit emosi. Emosional.
"Wey wey, santai, Bu. Becanda gua. Soalnya lu dingin banget, asli. Gua mau deketin lu jadi mikir dua kali,"
"Just give it a try, then," ujarku sembari membereskan peralatanku. Jam kerja sudah selesai, aku harus segera pulang.
─────
Menonton film bagiku adalah kegiatan membuang uang. Karenanya, aku jarang sekali menonton--tepatnya di bioskop. Jadi, ketika ada yang mengajakku pergi ke bioskop, biasanya kutolak. Well, ada dua perkecualian spesial: kalau yang mengajakku itu sudah terlanjur pesan tiket dan kalau yang mengajakku bernama Abimayu Jinendra Adsy.
Seperti malam ini. Ia baru selesai mengerjakan tugasnya tadi pukul tujuh, lalu mengajakku pergi. Awalnya ia hanya berkata ingin melihat-lihat kota ini. Tidak tahunya ia menyembunyikan fakta ia sudah membeli dua tiket film.
"Kenapa gak bilang daritadi, sih, kalau mau nonton?" tanyaku heran.
Ia hanya menjawab dengan polos, "Kata Bang Ical, lo selalu nolak kalau diajak nonton,"
"Ji, tinggal bilang aja sih?" heranku.
"Tapi lo tolak gak?" tanyanya, menatapku penasaran.
"Iya,"
Ia cemberut. "Gimana sih ah,"
Kekehan lolos dari bibirku. "Ayo," ajakku.
"Ke mana?" tanyanya, wajahnya berubah cerah. Aku nyengir.
"Katanya mau nonton," jawabku. "Ayo?"
"Gandeng," pintanya tengil.
Aku menonjok pundaknya.
─────
notes :
see? omg im cringing tapi rasanya pingin juga ada yang gituin. anyway, have a nice day!

KAMU SEDANG MEMBACA
ii. praduga terduga
Fanfictionhanya perihal jatuh hati yang sama sekali tidak terprediksi published on jan 1, 2021