10

126 23 31
                                    

ini double update. ke chapter 09 dulu yak

─────

Sibuk dan diriku. Sama-sama sulit dipisahkan seperti Jinendra dan americano. Laki-laki itu bahkan menyarankan agar aku segera saja menikah dengan berkas-berkas perkerjaanku. Lalu ia pundung. Ah, dasar bocah. Untungnya, hari ini aku jatah cuti setelah bulan lalu aku tidak mengambil jatah cutiku.

"Ayo Fan, ke sanaaa," Pinta Jinendra Adsy setelah mengirimkan foto destinasi yang lagi-lagi ia jelajahi lewat, yak benar, Google Street View.

"Iya, waktu aku cuti ya?" ucapku dengan nada menenangkan seorang bayi.

"Aaaaaaaa masih lama dong? Kenapa sih akhir pekan juga kamu pakai buat kerja? Huaaaaaaa Fanyaaaa,"

Aku berdecak. "Hari ini aku cuti,"

"Kamu serius, Durjanah? Beneran gak ini?"

"Iya beneran. Kalau mau jemput, cepetan. Kuhitung sampai lima kalau belum sampai hangus kesempatanmu wahai ajudan,"

"Alaaaaah," keluhnya.

"Sambat terus kamu tuh. Cepet ke siniii," perintahku.

"Siap, Non!"

---

Udaranya terlampau sejuk di sini. Nyaris dingin. Untung saja aku membawa jaket. Laki-laki di sampingku memasukkan tanganku ke saku jaketnya.

"Tadi aku tuh mau bilang, 'Neng, pakai jaket abang aja biar gak kedinginan,' eh tahunya kamu bawa. Ah, kamu gak peka,"

Aku tertawa. "Karep-karep deh," (terserah-terserah deh)

Cengirannya melebar lalu menautkan jemarinya dengan jemariku. Tempat ini ternyata sepi juga ketika hari kerja. Apalagi ini bukan bulan-bulan study tour. Jinendra kujamin akan melancarkan aksi menggombalnya dengan sangat lancar.

"Fan,"

"Ya?"

"Apa yang kamu cari dari sebuah hubungan?" tanyanya. Aku sedikit terpana, tidak menduga pertanyaannya akan seperti itu.

"Aku..."

Anehnya, aku sulit menjawabnya. Pun sepertinya aku memang masih bimbang.

"Rasa tenang? Bahagia? Aku gak tahu, Ji," jawabku ragu. "Kenapa?"

"Kamu jarang banget cerita ke aku. Maksimal soal Papa kamu jadi alasan utama kamu berhenti nyebat," jawabnya. "Aku takut kamu nerima aku cuma karena ngerasa gak enak,"

Aku menggeleng, menatapnya. "Aku...takut. Aku takut alasan aku sayang ke kamu cuma karena materi,"

Jinendra mengerjap. "Hah?"

"Ya... itu. Aku merasa harus membatasi diri--"

"Ya memang gitu, 'kan? Evolusi. Seleksi alam. Mekanisme bertahan hidup," ujarnya membuatku memandang wajahnya bingung, juga terkejut. "Manusia emang cari pasangan yang dirasa membuatnya cukup aman dan nyaman buat bertahan hidup. Uang juga alasan. Tapi alasan yang lain juga banyak, 'kan? Kita menyelesaikan apa yang menjadi concern kita terlebih dahulu. Mungkin... your biggest concern right now is money. Tapi, aku yakin banyak kemungkinan lainnya," jelasnya. "Jadi... selama kamu tahu kamu sayang aku--astaga aku ngerasa cringe--aku gak papa,"

Jinendra bisa seserius ini. Aku benar-benar speechless.

"Tapi Ji--"

"Kamu selalu minta split bill. Even hari ini padahal aku yang maksa. Yang deketin kamu dari awal juga aku," ujar Jinendra, memotong perkataanku. "Gak usah dipikirin segitu dalamnya. Masalah uang, emang itu yang manusia perluin, apalagi di dunia yang serba kapitalis ini. Apalagi kita udah di umur-umur mikirin hubungan yang lebih serius, 'kan, daripada hubungan anak SMA? Makan apa kamu nanti kalau aku gak punya uang?"

Aku tertawa lemah, berusaha menutupi kecengenganku. Aku terharu entah bagaimana. "Makasih, Ji," ucapku.

"Jangan nangis dong. Nanti aja di mobil," jahilnya.

Kembali ke kebiasaan lamaku: menonjok bahunya. "Aw, sakit yang,"

"Ji, kenapa kamu berhenti ngerokok?" tanyaku penasaran. Pasalnya, ia berhenti merokok tepat seminggu setelah aku bercerita soal Papa. Aku tidak mau berasumsi aneh-aneh.

"Aku..." ia berhenti, menghembuskan napas sebentar. "Aku gak mau jadi laki-laki yang ninggalin kamu lagi karena rokok,"

"Hah? Papaku?"

Ia menggaruk tengkuknya dengan tangannya yang bebas. "Ya... gitulah,"

Aku tak bisa menahan tangisku. Tebakanku tepat. Pecah sudah cengengku, air mata menuruni pipiku yang nyaris kebas kedinginan.

"Hei..." Jinendra menatapku panik. Ia pasti bingung harus bersikap bagaimana.

"Peluk," pintaku, masih sesenggukan.

Ia merengkuhku, mendekap erat tubuhku, menyalurkan perasaan hangat ke setiap inci tubuhku. Aku menenggelamkan kepalaku di perpatahan lehernya, sesekali tercium aroma parfumnya yang memang biasa ia pakai. Dapat kurasakan ia mengelus kepalaku, menenangkan tangisku.

Setelah sekiranya tangisku reda, aku melepaskan pelukannya. Ia menangkup pipiku, membersihkan sisa-sisa air mata.

"Jorok ah, jangan," cegahku dengan memengangi tangannya.

Yang aku tahu setelahnya, ia mendekatkan wajahnya. Aku memejamkan mataku, menduga-duga apa yang akan terjadi. Napasnya menerpa kulit wajahku. Aku... sepertinya tahu apa yang akan terjadi. Napasnya semakin terasa.

Lalu...

"Allahuakbar, Allahuakbar"

Napasnya sudah tak lagi mengenai wajahku. Aku merasakan ia tertawa di pundakku. Tawaku menyusul, baru menyadari keadaan yang terjadi.

"Besok-besok kalau main jangan pas mau maghrib ya," ujarnya di sela tawanya sembari menyembunyikan wajahnya di bahuku.

"Kamu yang ngajak loh," timpalku diakhiri tawa yang beradu dengan tawa salah tingkahnya.

─────

notes :

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA.... maap makin ga jelassss

monmaap aku waktu nulis ini, sebenernya part favorite aku tuh ini AHAHAHAHAHA kalau terasa seperti roman picisan--dan kamu nggak suka umpamanya--ya gimana yak memang ini roman picisan...

anyway, menurut kalian, ini endingnya bakalan gimana? tebak-tebak berhadiah kuy, yang bener dapet lop dari aji hewhew.

jangan lupa tidur ya >:(

ii. praduga terdugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang