08

101 23 7
                                    

aku double update nich, baca yang 07 dulu yaaa!

─────

Pasca menghadiri acara pernikahan, seharusnya pagi-pagi aku sudah pulang ke Bandung. Rencananya memang bersama Jinendra. Hanya saja kupikir naik kereta. Tak tahunya ia... ah kesal.

"Hehehehehhe, makanya ayo mampir dulu ke rumahku," ucapnya santai.

"Malu, Jinendraaa," ujarku menahan lengannya.

"Telanjur nyampe ini ke rumah Pak Rudi. Gimana dong?" jawabnya jahil.

"Ji..." rengekku. "Aku naik kereta aja pulangnya..."

"Kenapa sih emangnya? Ayo turun. Apa perlu Kakanda membukakan pintu untuk Adinda?"

"Geli ah," komentarku. Aku melanjutkan, "Malu lah Ji kalau harus ketemu keluargamu,"

"Pacarku kenapa sih gemes bangeeeet," ujarnya gemas. Tangannya terulur, nyaris mencubit pipiku kalau saja aku tidak menghindar dengan sigap.

"Maluuuuuu,"

"Kamu ini banyak bicara ya Elizabeth. Cuma makan, nanti habis itu kita balik ke Bandung. Bu Rudi udah kasih mandat, 'Aji, nanti kalau mau pulang, makan dulu di rumah. Pacarmu sekalian makan di sini,' gituuu," ceritanya panjang lebar.

"Ck... ah yaudah deh,"

"YES!" serunya lalu keluar dari mobil. Aku mengikutinya—lewat pintu yang ada di sisiku tentu saja.

"Gandeng," ujarnya. Aku mengernyitkan alis. "Aku nyuruh," tambahnya.

"Ji... jangan becanda dong..." rengekku.

"Loh... serius aku," ujarnya sambil mengetuk pintu. Aku menonjok pelan bahunya dari belakang.

Lalu pintu terbuka menampilkan sosok perempuan yang kutaksir seumuran Mama.

"Weh, Bu Rudi!" seru Jinendra. "Lama banget kita udah gak ketemu ya, Jeng," lanjutnya sambil berpura-pura melakukan cipika-cipiki dengan ibunya.

"Iya, Sis, astaga. Makin cakep aja kamu," balas perempuan yang kuyakini adalah ibu Jinendra. Manik kami bertemu beberapa saat kemudian. "Oh, ini pasti Aji,"

"Ibuuuuu!"

"Eh salah ya? Fanya ya? Pacar Aji?"

Aku tersenyum seraya mengangguk malu. Malu-malu tai kucing. "Iya, Tante. Saya Fanya,"

"Wah, masuk masuk. Aku udah siapin banyak makanan buat kamu," suruh Bu Rudi sembari merangkulku.

"Loh, bukan buat Aji?" protes Jinendra yang tidak mendapat tanggapan dari ibunya. "Ck, Ibuuuu,"

"Gak usah ditanggepin orangnya kalau lagi kayak gitu. Nanti tuman,"

Aku tergelak. Jinendra, Jinendra.

─────

"Pergi di hari Minggu
Bersama pacar baru
Naik vespa kliling kota
Sampai binaria
Hatiku jadi gembiraaa,"

Itu Abimayu Jinendra Adsy sedang bersenandung sendiri mengikuti pemutar musik mobilnya ketika sudah memasuki tol. Gelengan kepalaku yang disertai senyuman menjadi alasan untuk tawanya yang terdengar beberapa saat kemudian.

"Jangan malu-malu gitu dong, Neng," jahilnya. Aku terkekeh.

"Bodoamat. Hak asasi,"

Lagu yang dinyanyikan oleh Naif itu terputar lagi. Aku terkekeh.

"Kuganti ya, Ji?" pintaku. Jari telunjukku hampir menekan tombol next jika saja ia tidak segera menggenggam tanganku.

"Jangan," tolaknya. Ia menautkan jemarinya ke jemariku. "Gini aja, hehe,"

Dapat dipastikan aku harus segera cek kesehatan jantung.

"Keluarga Pak Rudi gak serem, 'kan?" tanya laki-laki di sampingku ketika menyadari aku diam saja.

"Enggak. Kenapa?" jawabku.

"Mau main lagi gak kapan-kapan?"

Aku mengangguk walaupun tahu ia mungkin tidak melihat. "Mau,"

"Idih, tadi malu-malu,"

Aku menonjok lengannya dengan tanganku yang bebas. Kemudian aku tersenyum jahil ketika aku teringat kejadian beberapa waktu yang lalu. Saat-saat manusia bernama depan Abimayu itu berwajah masam ketika aku mengobrol ini itu dengan kakak laki-lakinya.

"Soalnya aku baru tahu abangmu itu bassist Enamhari," balasku.

"Ah, gak ada. Gak ada main ke rumah Pak Rudi lagiii kecuali waktu kita mau nikah,"

Kujamin, lengannya terindikasi positif lebam setelah kutonjok lagi.

─────

notes :

halo lagiiiiii.

cringe gak menurut kalian? soalnya aku cringing cringing gemoy gimana gitu wkwkkwkwkw terserah sal, terserah...

sekali lagi, selamat akhir pekan! jangan lupa istirahat, jaga kesehatan eperibadih lopyupul berat

ii. praduga terdugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang