Bunda, begitu cara Vio memanggil ibu tirinya. Dia memeluk Vio setelah gadis itu mencium tangannya. Wajahnya terlihat jauh lebih tirus dibandingkan ketika Vio pulang ke Cirebon lebaran tahun lalu. Lelah dan penat tampak jelas di pelupuk matanya.
"Ayahmu kangen banget sama kamu, Vio. Bolak-balik dia nanyain kamu, tapi selalu nolak setiap kali Bunda suruh telepon kamu." Tutur wanita itu. Seulas senyum tipis menghias bibirnya.
"Maaf, Vio baru bisa pulang sekarang, Bunda." Vio berusaha menyembunyikan rasa tidak nyaman yang mencengkeram dadanya. Ibu tirinya tidak pernah memperlakukan kasar, malah bisa dibilang wanita itu lebih berperan daripada ibu kandung Vio. Namun, Vio tidak pernah bisa menempatkan wanita itu sebagai bagian dari keluarganya. Ada perasaan enggan yang selalu mencegah Vio untuk menerima kehangatan yang ditawarkan wanita itu.
"Kabar ibumu gimana, Vio? Sehat, kan?" Wanita itu selalu menanyakan kabar keluarga Vio di Bandung setiap kali mereka bertemu.
"Baik, Bun," jawa Vio singkat. Setidaknya ketika terakhir kali dia menelepon bulan lalu, ibunya terdengar baik-baik saja. Komunikasi Vio dengan ibunya tidak lebih baik dari hubungannya dengan sang ayah.
"Bentar, bunda bangunkan dulu ayahmu, ya."
Vio buru-buru menyentuh tangan ibu tirinya untuk mencegah. "Nggak usah, Bun. Biar ayah istirahat. Vio cuma mampir sebentar buat lihat kondisi ayah."
"Nggak apa-apa, Vio. Bunda yakin ayahmu pasti senang lihat kamu. Dia sudah sejak kemarin menanyakan. Setidaknya, biar dia melihatmu dulu sebelum Mima mengantarmu ke rumah."
Mata ayah Vio yang sejak tadi terpejam perlahan membuka saat sang istri menyentuh pundaknya lembut. Senyumnya terkembang ketika melihat sosok Vio berdiri di sisi tempat tidur. Vio segera meraih tangan sang ayah yang tinggal tulang berbalut kulit dan menyentuhkannya ke kening.
"Syukurlah, Vio, kamu sudah sampai. Kamu selama ini sehat-sehat saja, kan? Pekerjaanmu gimana?" suara pria itu terdengar bergetar. Begitu lemah dan tak bertenaga. Namun, matanya memancarkan perasaan bahagia saat dia tersenyum kepada Vio.
"Baik, Yah." Vio memaksakan diri tersenyum. Kemarahan yang selama ini bertumpuk-tumpuk di dadanya kini menguap entah ke mana ketika melihat kondisi ayahnya. Ada penyesalan panjang yang Vio rasakan karena tidak pernah berusaha memangkas jarak yang terbentang di antara mereka selama ini.
Vio hanya sebentar di rumah sakit. Sang ayah menyuruhnya untuk segera pulang ke rumah agar dapat beristirahat. Sepanjang perjalanan, kenangan-kenangan indah bersama sang ayah membanjiri ingatan Vio. Semua kenangan itu selama ini tersimpan rapi dalam sudut ingatan Vio, terlupakan karena dia terlalu sibuk mendaftar kesalahan-kesalahan yang ayahnya lakukan. Selama bertahun-tahun, dia terlalu sibuk menyalahkan ayahnya atas keadaan yang menimpanya, hingga membuatnya lupa pada pengorbanan dan perjuangan pria itu untuknya.
* * *
Pagi itu, Vio sarapan bersama kedua adiknya. Anak-anak ayahnya yang lahir dari rahim ibu tiri Vio. Keduanya berjenis kelamin perempuan. Yang tertua telah kelas enam SD, sementara yang bungsu masih TK B. Mereka tidak pernah dekat dengan Vio, begitu juga sebaliknya. Jarang berkomunikasi membuat mereka merasa canggung pada satu sama lain. Apalagi jarak usia mereka cukup jauh, ditambah pula Vio sangat jarang pulang.
"Berangkat dulu, Teh." Kedua anak perempuan itu bergantian mencium tangan Vio kemudian menghilang ke dalam mobil jemputan. Mereka berdua anak yang mandiri, tidak protes meski ditinggal di rumah bersama asisten rumah tangga selama sang ibu merawat ayah mereka di rumah sakit.
"Vio, kok aku telepon nggak nyambung sih?" protes Mima dari atas motor. Dia baru saja datang. Semalam dia memang sudah berjanji untuk mengantar Vio ke rumah sakit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Love You, Violet. (Tamat)
RomansaSejak kedua orang tuanya bercerai, Vio tak lagi percaya pada cinta dan pernikahan. Hatinya sudah terlanjur patah. Baginya, janji setia sampai mati hanyalah bualan. Lebih baik dia menghabiskan hidup dalam kesendirian daripada harus merasakan sakitnya...