Berkunjung

125 11 12
                                    

Rangga sedang tidur, wajahnya terlihat lelah. Hanum hanya bisa menunggu Rangga bangun seolah itu hanya akan terjadi satu kali. Sengaja melupakan kantung mata yang samar terlihat di wajahnya sendiri.


















'Apa tidak ada cara lain?'





























tidak



































'Tidak?'


























"Hey, Hanum." Egar masuk ke kamar itu dengan dua cup cappuccino, memberikan salah satu kepada hanum -terdengar suara lirih terimakasih- lalu duduk di sebuah meja belajar dekat papan tulis yang biasanya digunakan Bu Ani.

Matahari sudah terbenam sejak beberapa jam yang lalu, dan Rangga masih belum menunjukkan tanda akan bangun. "Hanum, kamu istirahat dulu gih" komentar Egar setelah meneguk setengah dari cappucino miliknya.

Hanum tertawa geli.

"Kamu benar-benar berkata seperti itu setelah memberiku cappucino, Egar?" Hanum menggeleng pelan, meletakkan cup miliknya di atas laci kecil dekat ranjang. Egar yang baru saja menyadari kesalahan dalam pertanyaannya menatap lekat cup-nya yang isinya tinggal setengah itu "istirahat kan bukan hanya tidur, dan kafeinnya juga tidak banyak".

Mendengar itu Hanum hanya tersenyum, lalu kembali menatap Rangga. "Egar, jika.... jika Rangga memiliki orangtuanya kembali... apakah menurutmu dia akan bahagia lagi?" Dengan spontan, Egar mengangkat kepalanya dan memandang bingung ke arah Hanum. "aku tidak yakin, dia mungkin saja bisa bahagia... tapi mengembalikan orangtuanya... itu-"

"Tidak mungkin, iya aku tau" sela Hanum yang kini terlihat sedih walau dengan tersenyum. Dia tau -mereka berdua tau- bahwa hal tersebut tidaklah mungkin, bahkan pada cerita fiksi saja sangat jarang terjadi, apalagi di dunia ini. "Maksudku, bagaimana kalau misalnya kita, menjadi orangtua Rangga.... apakah dia akan bahagia?"

Egar terdiam, tidak tau pasti bagaimana harus menjawab pertanyaan Hanum. Namun, ada orang lain yang bersedia menjawab pertanyaan tersebut.

"Ide yang bagus, iya kan?"

Mendengar itu, Egar dan Hanum langsung menoleh ke jendela di sisi kiri kamar (Hanum dan Egar ada di sisi kanan dan ranjang berada di tengah kamar). Mereka berdua juga langsung berdiri ketika melihat seseorang duduk di jendela itu.

"Kenapa diam? Ah, biar aku tebak... Kalian pasti begitu terkejut melihatku?"

Egar meraih pistol yang ada di sakunya(?), curiga terhadap sosok berjubah yang duduk membelakangi mereka. "Siapa kau?" dan "bagaimana kau bisa sampai ke sini?" adalah pertanyaan umum yang baru saja dilontarkan oleh Hanum. Tapi orang itu justru tertawa.

"Hah..... kalian menggelikan, kalian menjalankan tugas untuk menjaga anak itu dari seseorang- tapi~ kalian tidak tahu bahkan hanya ciri-ciri seseoran ini? Ck, ck, ck"

Orang itu menggelengkan kepalanya dengan remeh. Dan saat itu juga Rangga dan Hanum mengetahui siapa orang yang duduk di jendela itu, dia berbalik dan menampakkan topeng putih yang menyeringai lebar. Egar menodongkan pistolnya kearah topeng itu berada.

"Turunkan pistolmu nak, kau tidak akan tau apa yang terjadi setelah kau menarik pelatuknya. Dan seharusnya kalian berterimakasih kepadaku, karena apa yang aku lakukan dapat membuat kalian berdua bertemu dengan anak itu hari ini -dan beberapa hari yang lalu -dan kedepannya."

Ada kemungkinan bahwa orang ini tidak sendirian, tetapi Egar juga tidak mengetahuinya. Tidak mau ambil resiko, perlahan Egar menurunkan pistolnya. Tapi karena tidak adanya kepercayaan pada seorang penjahat, Egar masih memegang erat pistolnya dan kini berdiri tepat di samping Hanum.

"Pilihan bijak! Sekarang, jika kalian tidak mencoba apa-apa aku juga tidak akan melakukan sesuatu. Niatku kesini juga hanya mampir jadi kalian tenang saja." Ucapnya dengan enteng, seolah kehadirannya bukanlah hal yang salah.

"Tenang? Kau meminta kami tenang ketika seorang pembunuh menerobos masuk ke kamar ini?!" Tangan Hanum terkepal, menahan amarah yang sudah terlihat pada wajah dan suaranya. Ingin rasanya Hanum memukul wajah dibalik topeng itu dengan sekuat tenaga. Orang berjubah itu justru mendengus kesal sambil menyangga dagunya. Entah mengapa rasanya orang itu sedang sedang facepalm.

"Dengar, aku punya tempat lain untuk dikunjungi -jadi dengarkan. Lebih baik kalian segera singkirkan gerombolan polisi dan dokter yang berkeliling tidak jelas di rumah ini. Dan apabila kalian tidak berhasil dalam waktu dua minggu, kalian bertiga akan dapat kejutan dariku." Seketika seringai di topeng itu terasa sangat nyata.

Terlalu terkejut untuk melempar pertanyaan, Hanum dan Egar kehabisan kesempatan untuk melakukannya. Orang itu segara berdiri, mengatakan "adios silly amigos"  lalu meloncat keluar dari jendela tempat ia duduk.

Hanum dan Egar membeku di tempat, tetap menatap jendela seolah berharap si pembunuh akan kembali dan menjelaskan kalimatnya. Dan akhirnya mereka menatap satu sama lain....










































'Apa yang harus kita lakukan?'













































*note!

Bentar lagi PAS kan? Iya kan? Ini bukan malam selasa kan? (Rencananya selalu up malem selasa) Kenapa cerita ini pendek? Kenapa aku nanya terus? :')

Oke, bentar lagi PAS, semoga kita semua bisa dapat sasaran kita. Semangat belajar  dan ngerjain PAS nya! :'D

Terimakasih atas dukungannya dan sampai jumpa! (^▽^)).

KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang