Part 22 : Mana yang Harus Kupercaya?

42 10 0
                                    

Lelaki itu membalas jabatan tangan Silvia, lalu menyebutkan namanya. "Aku, Xander."

Silvia yang mendengar nama lelaki itu langsung saja melepaskan jabatan tanganya.

"Lelucon macam apa ini?" desahnya frustasi.

"Kenapa?" tanya lelaki yang mengaku bernama Xander itu. Silvia hanya menggelengkan kepalanya.

"Via mau tanya sesuatu sama kamu," ujar Silvia to the point.

"Lebih baik kita cari tempat lain yang lebih enak," usul lelaki itu.

Silvia mengangguk, lalu keduanya memutuskan untuk pergi dari taman. Lelaki itu mengajaknya ke sebuah coffee shop.

"Apa yang ingin kamu ketahui?" tanya lelaki itu. Mengambil cangkir lalu menyesap kopi miliknya. Kini kedua manusia itu memang sudah berada di coffee shop.

Silvia terkejut mendengar penuturan lelaki itu. Seolah dirinya tahu apa yang ada dipikiran sang gadis. Silvia bingung ingin memulai dari mana, semua terasa rumit.

Melihat Silvia yang terdiam, si lelaki berinisiatif untuk buka suara lebih dulu. "Kamu pasti bingung, ya, karena Austin ngaku kalau dia adalah Xander, sedangkan namaku juga Xander?"

Silvia menoleh ke lelaki itu. "Kamu tahu dari mana, Austin ngaku kalau dia itu Xander?" tanyanya penasaran.

"Aku tahu karena aku selalu berada di dekatmu selama ini, hanya saja kamu tidak pernah menyadari keberadaanku." Lelaki itu berkata sambil menatap kalung yang dikenakam Silvia, lalu ia terkekeh pelan.

Silvia yang melihatnya semakin dibuat pusing. Namun otaknya mengingat sesuatu. "Apa jangan-jangan, ka—kamu yang naruh kalung ini di depan jendela aku malem-malem?" Gadis itu tergagap ketika menanyakannya.

"Asap hitam itu ... kamu?" imbuhnya.

Lelaki yang mengaku Xander itu mengangguk pelan. Silvia tertawa melihatnya, membuat si lelaki mengerutkan dahinya bingung. "Apa yang lucu?"

"Lucu aja, tiba-tiba Via mengalami lucid dream yang gak bisa Via kendaliin, dan di dalam mimpi itu Via berubah jadi sosok Belva," paparnya.

"Trus ada cowok yang ngaku kalau dia itu kakak Via yang udah cari Via selama lebih dari dua puluh tahun dan bilang kalo Via adalah reinkarnasi dari Belva.

Dan sekarang? Kamu juga ngaku-ngaku sebagai Xander, dan bilang kalau Austin itu bohong karena dia ngaku jadi Xander." Imbuhnya.

"Lucid dream yang kamu alami itu, aku yang sengaja memancing ingatanmu agar keluar walau tidak sepenuhnya berhasil," jujur si lelaki.

Silvia melongo mendengarkannya. Gadis itu menepuk tangannya beberapa kali. "Hebat!" ujarnya.

"Permainan macam apa yang kalian buat ini? Kalian kerja sama buat bikin Silvia bingung?" hardik gadis itu.

Lelaki yang mengaku bernama Xander itu ingin menyanggah, namun diurungkan niatnya. Ia tahu jika Silvia masih terkejut akan fakta yang baru ia ketahui, dan ia tak ingin gadis itu menjadi stres karena terlalu memikirkannya.

"Terserah kamu mau percaya apa engga sama aku, yang jelas Austin bukan orang baik. Dan aku harap kamu lebih percaya sama aku dibanding dia," lirih si lelaki.

Lelaki itu mendekatkan kepalanya ke telinga Silvia, lalu membisikkan sesuatu. Setelahnya ia kembali ke tempat duduknya. Gadis itu tampak tercengang setelah mendengar ucapan sang lelaki.

Namun Silvia tidak mendengarkan omongan si lelaki yang menurutnya hanyalah sebuah bualan. Ia lebih memilih meminum ekspreso miliknya dan segera pulang ke rumah.

Setelah membayar tagihan, si lelaki mengantarkan Silvia pulang ke rumah panti. Namun setelah sampai, gadis itu dibuat bingung karena di halaman rumahnya terparkir rapi sebuah mobil berwarna putih yang tidak asing untuknya.

Silvia segera turun dari mobil, tak lupa dirinya mengucapkan terima kasih pada lelaki tadi yang telah mentraktir dirinya dan mengantarkannya pulang. Setelahnya, lelaki itu tancap gas, menjauh dari rumah Silvia.

Gadis itu berjalan dengan cepat menuju rumah. Membuka pintunya dengan tergesa. Dan benar saja, sudah ada Austin di dalam ruang tamu bersama dengan bu Wanda.

"Kamu ngapain datang lagi ke sini?" tanya Silvia dengan nada sarkas, membuat bu Wanda tidak enak hati karena sikap anak gadisnya pada Austin.

"Saya cuma khawatir sama kamu, apapun masalah kita saat ini, saya gak bisa mengabaikan kamu gitu aja, saya minta maaf, saya cuma mau kita kayak dulu lagi." Lelaki itu menghela napas panjang usai mengatakannya.

Silvia bergerak mendekati Austin, namun langkahnya terhenti saat mengingat kalimat yang dilontarkan lelaki tadi.

"Yang jelas, Austin bukan orang baik."

Kata itu terus menerus memenuhi otaknya. Membuatnya mengurungkan niat mendekati Austin. Ia memilih duduk di samping bu Wanda.

"Via minta maaf, Via tahu dan sadar kalau apa yang Via lakuin itu kekanakan. Via cuma pengen sendiri dulu. Lebih baik kamu pulang." Gadis itu kembali mengusir Austin secara halus.

Membuat lelaki itu mendesah kecewa. Ditundukkan kepalanya, lalu kembali menghela napas panjang. Setelahnya ia berdiri dari duduknya dan pamit pulang.

Silvia bergeming, tak menanggapi ucapan pamit yang dilontarkan Austin untuknya. Bu Wanda meminta maaf atas sikap Silvia yang masih labil, namun Austin hanya tersenyum pada wanita itu seolah mengatakan jika dirinya tidak masalah dengan hal itu.

Bu Wanda semakin tidak enak hati, Austin sudah sangat sering membantu dirinya sejak Silvia kecelakaan. Mulai dari biaya pengobatan Silvia, Donasi yang cukup besar untuk kemajuan panti asuhan milik peninggalan ibunya, lalu membayar biaya tunggakan sekolah anak-anak panti asuhan.

Semua itu dilakukan oleh Austin karena ia bilang jika dirinya mencintai Silvia. Membuat bu Wanda yakin jika sosok Austin adalah lelaki yang baik.

Setelah mengantar Austin ke depan, bu Wanda kembali ke ruang tamu. Ia akan bicara dengan Silvia, namun gadis itu sudah pergi, menghilang entah ke mana. Membuatnya mengurungkan niat awal.

Sementara Silvia, gadis itu tengah duduk di ranjang kamarnya, punggungnya ia sandarkan ke kepala ranjang sementara ia memeluk bantal tidurnya.

Ia masih memikirkan Austin dan lelaki yang mengaku sebagai Xander tadi. Keduanya mengatakan hal yang sangat bertentangan.

Austin memang sangat mirip dengan Xander, membuat Silvia memiliki alasan untuk percaya jika lelaki itu memang benar Xander.

Namun lelaki tadi? Fisiknya sangat jauh berbeda dengan Xander, hanya saja Silvia bisa merasakan ada beberapa hal mirip yang dimiliki oleh lelaki itu dan juga Xander.

"Via capek, jadi mana yang harus kupercaya? Austin atau lelaki yang mengaku Xander tadi?" Gadis itu membuang bantalnya ke lantai karena kesal.

Ia memutuskan untuk tidur saja, berharap dengan tidur, ia bisa kembali memasuki alam mimpi yang indah.

Ia memungut bantal miliknya lalu meletakkan kepalanya di atas bantal dan membuka selimut, menutupi tubuhnya sampai sebatas dada. Berdoa pada Tuhan, lalu memejamkan matanya dan mulai terlelap jauh ke alam mimpi.

To Be Continue

Bagaimana dengan part ini?
Moga suka dan ga bosen ya

LUCID DREAM (telah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang