(6)

13.3K 310 4
                                    


“Kami nggak ada liat bocah lelaki duduk sendirian di bangku taman pas masuk ke butik tadi,” kata diaz sambil lari pelan kejar gue yang mulai panik, celingukan ke setiap pengunjung mall yang gadeng anak kecil.

“Terakhir kali aku liat dia duduk bangku taman sebelom bertemu kalian,” sahut gue sambil periksa posisi jarum arloji. “Itu berarti baru kelewat sekitar satu jam lalu, dia pasti masih ada di sekitar lantai ini.”

“Tetap tenang, oke?” pinta altaf sambil cengkeram kedua pundak gue. “Kita bisa lapor ke bagian resepsionis kalo ada anak lelaki hilang. Mereka pasti bakal bantu kita turut cari ponakan kamu.”

Tapi bayangan sosok murka bang bari, pun tatapan kecewa mbak arum udah keburu sabotase otak gue dengan beragam skenario paling buruk kalo sampe banta betulan hilang.

“Kelamaan. Mending cari dulu, baru kita lapor kalo nggak ketemu,” sahut gue tolak saran altaf yang kedengaran masuk akal, tapi cukup buang waktu. Pun gue baru kali pertama main ke sana, jadi nggak begitu kenal sama peta ruangan dalam gedung mall itu.

“Kita pencar aja,” usul diaz setelah gue kasih gambaran sosok banta hari itu, mulai dari seberapa tinggi sampe warna sepatu sandal yang dia pake ke mall. “Aku cari di sekitar bagian teras resto, kamu dan altaf cari di sayap kanan dan kiri lantai ini.”

Kami segera pisah ke arah tujuan masing-masing. Sambil sisir deretan toko maupun resto di kedua sisi koridor mall dengan teliti, gue pun pasang mata ke rombongan pengunjung yang berseliweran di sekitar gue.

Kaki gue sontak membatu kala otak telat identifikasi informasi visual yang sempat ketangkap mata gue tujuh detik lalu, sambil jalan mundur kembali ke titik semula di mana gue liat sekelebat sosok banta di satu resto dengan arena bermain anak di bagian tengah ruangan.

Embusin napas lega begitu gue liat banta beneran berdiri di sana bareng dua anak lain yang bolak-balik naik tangga perosotan pendek maupun naik ayunan. Tapi bocah itu malah bengong depan akuarium besar sebagai sekat antara dapur dan ruang makan para pengunjung resto.

“Banta?” panggil gue bikin bocah itu refleks tengok ke gue yang segera jalan samperin resto itu.

“Ikan,” kata banta sambil tunjuk ke akuarium besar pas gue udah sampe depan dia. “Banta mau ikan.”

“Ikan itu nggak dijual, banta. Kita beli aja nanti di toko ikan bareng papa kamu, oke?” bujuk gue sambil tarik pelan tangan banta menjauh dari depan akuarium besar itu.

“Banta nggak mau ikan lain,” rajuk banta mulai rewel sambil goleran di lantai resto itu bikin pengunjung resto serentak menoleh ke arah kami dengan sorot terganggu. “Banta cuman mau nemo.”

Gue benci jadi pusat perhatian, apalagi dengan cara bikin keributan. Pun gue nggak begitu mahir hadapin bocah manja yang udah kepalang merajuk. Oke, gue butuh bantuan.

“Ada apa, mas?” tanya manager resto ke gue pas banta mulai menangis histeris bikin gue urung menelepon altaf maupun diaz.

“Ini lho, pak. Ponakan saya pengin ikan badut dalam akuarium itu,” jelas gue sambil tunjuk banta, trus ke ikan badut yang berenang lincah bareng ikan lain dalam akuarium besar yang merupakan bagian dekorasi ruang resto itu.

Pak manager itu segera balik badan, trus bicara dengan satu pelayan di dekat kami pake isyarat tangan. Sempet gue pikir si manager resto suruh dia panggil sekuriti, tapi tebakan gue salah besar pas pelayan itu kembali sambil bawa kantong plastik bening ukuran kiloan sama jaring kecil bergagang kayu.

“Mau pilih mana?” tanya pak manager sambil panggul banta pake satu tangan, sementara lain pegang gagang kayu saringan ikan.
Gue putar bola mata pas banta pilih ikan badut paling besar. Huh, dasar bocah lintah darat. Baru sekali ajak jalan, langsung bikin kantong bolong aja. Untung ada uang tambahan dari mbak arum. Tapi cukup nggak, ya?

“M-maaf, pak. Saya mesti bayar berapa?” tanya gue saat pak manager kasih kantong plastik berisi ikan badut pilihan ke tangan banta.

“Ambil aja buat peliharaan ponakan kamu,” sahut pak manager sambil gusakin rambut banta.

Karena nggak enak, gue pun pesan tiga steik daging ikan sirloin setengah matang satu dari puluhan daftar masakan di resto itu. “Tolong dibungkus aja, mbak,” pinta gue ke pelayan yang catat pesanan gue.

Nggak apa sesekali makan enak, meski cukup menguras isi dompet. Duh, nasib.

***

“Ketemu di mana?” tanya diaz pas kita duduk santai sambil makan steik di bangku taman dekat timezone, sekalian pantau banta yang lagi asik main balap mobil sama altaf.

“Tuh, resto urutan kelima dari belakang,” sahut gue sambil tunjuk ke resto dua lantai di bawah kami dengan kedikan dagu. “Yang ada perosotan sama ayunan di tengah ruangan.”

“Tapi lumayan, lho. Beli tiga steik dapat bonusan ikan badut, besar pula,” balas diaz kagum sambil tatap ikan badut dalam kantong plastik yang berada di antara kami. “Pintar betul ponakan kamu pilih ikan.”

Gue desah lelah. “Tetap aja mahal. Kalo di kampung uang seharga tiga steik sirloin panggang bisa cukup buat makan setengah bulan.”

“Oh, jadi begitu. Berapa total harga tiga steik itu?” tanya diaz siap ambil dompet dari saku belakang celana dia. “Biar aku ganti uang kamu.”

“Taroh balik nggak, dompet itu?” ancem gue sambil dengan tampang merengut. “Aku masih mampu, oke?”

Tapi diaz malahan tatap gue dengan sorot prihatin seakan gue penderita busung lapar yang butuh segera dikasih makan.

“Plis, berenti tatap aku seperti itu,” sambung gue mulai risih. “Anggap aja steik itu balasan buat kalian karena udah kasih baju baru gratisan ke aku. Yah, meski nggak sebanding sama harga semua baju itu.”

Diaz mengangguk tanpa protes. “Oke, aku cuman takut sakit perut kalo kamu nggak ikhlas kasih steik itu ke aku.”

Gue sontak ketawa dengar asumsi konyol diaz. “Tenang aja, az. Steik itu belom basi, kok. Baru diangkat dari panggangan.”

“Wuuuih ... makan enak, nih. Bagi dong,” pinta altaf begitu berdiri depan kami sebelahan sama banta tampak kecapekan. Segera sambar satu kotak steik dari uluran tangan gue. “Thanks, bro.”

Banta sontak geleng pas altaf ajak dia makan bareng. “Banta mau es klim.”

Gue dan diaz kompak ketawa cekakakan liat tampang merana altaf pas banta tarik paksa tangan dia cari stan penjual es krim.



To be continue >>>

a/n:
Jari dedek udah keburu gatel pengin up. Jadi yaudh lh baca aja, moga suka sama versi baru cerita BDAI ini. Jangan lupa kasih komen kalian di bawah, ya. Makasih udh mampir dan baca ^^

Bercinta dengan Abang Ipar [BL] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang