“Apalagi rencana kamu kali ini?” tanya diaz begitu ketemu gue di toko alat musik di mall.“Aku nggak seburuk itu, oke?” sahut gue coba bela diri. “Lagian, aku cuman bikin mbak arum tidur pulas sepanjang malam. Meski jadi sering telat sarapan. Tapi selain itu, dia baik aja.”
“Oke, jadi apa tujuan kamu panggil kami kemari?” sela altaf coba melerai gue sama diaz dengan bentangin kedua tangan.
“Kalian suka main musik?” tanya gue balik sambil menatap bergantian altaf dan diaz, sebelom mengedar mata ke sekitar ruang toko dengan pajangan beragam alat musik mulai dari seruling sampe piano.
“Uhm ... kalo boleh jujur, kami lebih suka pergi karaoke ketimbang jadi personil anak band,” aku altaf yang segera kesambung anggukan pelan diaz.
“Sejak kapan kamu mulai tertarik sama dunia musik?” selidik diaz sambil jalan bareng gue keliling toko sebelom berenti di bagian alat musik petik di sisi pojok kanan. “Yah atau lebih tepat, sejak kapan kamu minat main gitar?”
“Cuman kamuflase, oke?” sahut gue sambil ambil satu gitar yang kegantung di tembok toko. “Biar bisa lebih dekat sama bang bari.”
“Ah, tunggu. Apa korelasi antara gitar sama bang bari?”
“Biar aku tebak,” tahan diaz sambil angkat sebelah tangan ketika gue hendak buka mulut. “Abang ipar kamu dulu salah satu personil anak band?”
“Yap, mantan gitaris. Tapi udah lama band mereka bubaran,” sahut gue sedih karena nggak bakal ada kesempatan bisa liat bang bari manggung bareng personil band lain. Pasti banyak penonton gadis menjerit histeris liat penampilan keren bang bari. “Begitu sih yang aku dengar dari mbak arum.”
“Oh, jadi kamu berencana belajar main gitar sama dia?”
“Ide brilian, bukan?” sahut gue sambil mengangguk antusias. “Setali tiga uang.”
“Yah, tapi lebih enakan kalo nggak makan lakik suadari sendiri,” timpal diaz bikin gue ketegun karena selama ini gue cenderung kurang peduli sama perasaan mbak arum. “Kalo pun bang bari bersedia ngewe sama kamu, itu cuman karena dorongan napsu bukan lantaran dia cinta sama kamu.”
Altaf mengangguk. “Yah, realistis aja. Mana ada pria beristri macem bang bari mau jalin kisah romansa tanpa jaminan bakal berakhir bahagia bareng kamu? Kalo pun mau, cuman bersifat sementara saat dia butuh kamu aja.”
“ Oh ... jadi maksud kalian, aku mesti mundur teratur begitu?”
“Bukan. Kami cuman pengin kamu sadar: sekeras apapun kamu berjuang,” jelas altaf penuh penekanan pada setiap suku kata bagian terakhir.
“Bang bari bakalan tetap campakin kamu begitu dia bosan,” tutup diaz dengan sorot prihatin.
“Kalian tau apa soal bang bari?” tanya gue muak sama bualan sok tau mereka, bikin altaf dan diaz sontak saling tukar pandang, trus kedik bahu kompak. “Jangan menilai seseorang sebelom kalian mengenal mereka luar-dalam.”
“Tapi menurut pengalam—”
“Bang bari nggak sama seperti semua kenalan cowok straight yang cuman bisa puasin lobang kalian,” bentak gue bikin beberapa pelanggan di sekitaran toko refleks menoleh ke arah kami.
Pipi altaf dan diaz merona dengan tangan mengepal di sisi badan, entah karena malu atau marah jadi tontonan para pelanggan di toko alat musik itu.
Tapi gue nggak peduli apa mereka bakalan benci, trus nggak mau temenan lagi sama gue. “Ayo, banta. Kita pulang,” ajak gue dengan nada lebih pelan sambil gadeng tangan banta trus jalan ke meja kasir dengan tangan kiri pegang leher gitar yang gue ambil dari deretan gitar di dinding. Baik gitar akustik maupun elektrik, semua ada.