Karena udah lewat tengah hari, kami sepakat buat makan siang setelah capek keliling mall beli baju, skincare dan lipbalm rasa melon biar bibir tetap lembab sekalian pangkas rambut di salon pilihan altaf.“Jadi, gimana debut ranjang perdana kamu kemarin?” celetuk diaz setelah kami semua pesan makanan. “Sukses berat?”
Gue buang napas jengah sambil putar bola mata. Entah kenapa dari sekian juta topik menarik di segenap belahan dunia, diaz malah pilih bahas soal aktivitas ranjang gue sama si anak mami.
“Sangat buruk. Kalo nggak bisa dibilang gagal total.”
Kening altaf spontan mengerut. “Kok bisa? Padahal menurut pengamatan kami, doni merupakan member paling cocok sama karakter kamu. Baik dari hobi maupun ruang lingkup pergaulan kalian.”
“Jadi kami pikir, kalian bakal lebih mudah melekat di ranjang meski baru saling kenal,” sambung diaz sambil tatap gue dengan sorot heran.
“Cocok? Kalian pasti bercanda,” dengus gue geli nyaris terbahak. “Aku emang asosial dan lebih sering temenan sama buku ketimbang nongkrong cantik di kafe hitz seperti kalian. Tapi bukan berarti aku cowok culun, oke?”
“Sori kalo cowok pilihan kami nggak sesuai ekspektasi kamu,” sesal altaf sambil mengangguk simpati.
“Oke, diskusi kita cukup sampe di sini,” tutup gue sambil angkat kedua tangan.
Kami bertiga membisu saat pelayan resto antarin makanan ke meja kami, trus segera pergi begitu selesai menata hidangan sesuai pesanan kami.
“Jadi cowok idaman kamu itu seperti apa?” tanya diaz sambil tuang saos ke dalam mangkuk. “Kali aja ada member lain yang sesuai kriteria kamu.”
“Aku yakin mereka nggak bakal keberatan bobol lobang kamu,” sambung altaf antusias sambil ambil ponsel dari saku depan celana, truk balikin layar hadap ke gue. “Apalagi kalo tau kamu masih segelan, wah... mereka pasti bakalan langsung berebutan.”
“Dari mana kamu dapat semua foto ini?” tanya gue begitu sadar deretan foto asli semua member komunitas gay daring kepampang di layar ponsel altaf.
“Santai aja. Kami udah ada izin dari admin, kok,” hibur diaz sambil tiupin sendok sebelom suapin ke mulut.
Gue kedik bahu, trus ambil ponsel itu dari tangan altaf dan gulir layar ke bawah. Mengamati foto setiap member beserta biodata singkat yang mereka cantumin saat gabung ke komunitas.
Dari biodata itu, gue bisa tau kalo sebagian besar member komunitas berasal dari kaum botita. Sementara kalangan top kurang dari hitungan jari.
“Udah ketemu?” tanya altaf bikin gue spontan geleng lemas.
“Kamu suka tipikal cowok gimana, sih?” timbrung diaz setelah seka sudut bibir pake tisu. “Romantis, humoris atau beringas saat main di ranjang?”
Bahu gue berangsur merosot lesu. “Macem abang ipar aku. Ada stok?”
“Wow ... luar biasa betul selera kamu, yon,” puji altaf sambil tepuk tangan bikin pengunjung resto dekat meja kami menoleh serentak. Tapi dia tampak nggak peduli dengan tatapan mengecam mereka.
“Yah tapi nggak ada dalam daftar member komunitas kita,” keluh gue dengan tampang murung sambil balikin ponsel itu ke altaf. “Malah yang kejaring cuma bocah cebong semua.”
“Maklum, komunitas kita bukan biro jodoh,” sahut diaz kulum senyum dengar gerutuan gue. “Mana ada lelaki berumur bakal kedampar ke sana.”
“Pasti bakalan sulit,” tebak gue muram sambil aduk cangkir dengan satu tangan menopang kepala. “Gaet top aja gue nggak bisa, apalagi lelaki hetero? Beristri pula.”