Part 16 : Kejutan.

1.4K 19 0
                                    

"Kaget ya?" Suara Eve mengejutkan kami berdua.

Kami melepaskan pelukan diantara kami berdua, keringat dingin mulai mengucur dari dahiku. Eve tertawa kecil melihat kami berdua lalu menoleh sekeliling, ia berjalan perlahan ke arah kami berdua lalu menarik tangan kami.

"Krib... kalo ada papi sama mami tolong tahan sedikit." Eve menoleh ke arah Ariel.

"kalo tadi aku gak ikutan peluk koh Niel, aku gak tau deh papi, mami sama kak Amel bakal mikir apa." Eve menghela nafas pelan.

"Koh Niel... jangan ngilang kyak gitu, semua orang kepikiran sama kokoh. Terutama ini nih si krib nanyain mulu... berisik tau" Eve terus menarik tangan kami kembali ke depan ruang perawatan.

Di tempat itu sudah terdapat keluarga Sinka yg nampak sedih, mereka berterima kasih padaku dan menanyakan tentang kejadian ini. Aku menceritakan semuanya sebanyak yg aku tau pada mereka, tentang seluruh kejadian di kampus dan di kostan. Keluarga Sinka terlihat amat terpukul, ibunya jatuh tersungkur ke tanah sambil menangis tersedu-sedu. Tante Lita mencoba menenangkan ibu Sinka yg tak kuasa menahan tangisannya.

__________________________________

*dua hari kemudian*

Kami mendapat kabar bahwa Sinka telah siuman. Kami sekeluarga bergegas menuju rumah sakit untuk menjenguk Sinka, namun Ariel dan Eve tidak bisa ikut karena sedang ada jadwal theater. Aku pergi ke rumah sakit itu sendirian. Hanya setengah jam perjalanan aku telah sampai di rumah sakit dan bertemu keluarga Sinka. Mereka mengatakan bahwa Sinka masih harus berada di rumah sakit paling sebentar 1 minggu karena ia harus melakukan pemulihan kembali. Sinka masih belum mengatakan apapun dan menceritakan apapun pada keluarganya, Sinka selalu berkata mengapa ia harus diselamatkan.

Aku meminta izin untuk menemui Sinka kepada orang tuanya. Aku memasuki kamar yg berlampu redup dan dingin karena AC itu, aku dapat melihat Sinka yg sedang duduk di atas kasurnya. Kabel kabel penunjang kesehatan menancap di tubuhnya. Aku dapat melihat perban yg melilit di dahi, bahu, lengan dan juga beberapa plester yg menempel di pipi dan pahanya. Sinka terlihat sedang menatapi pergelangan tangannya, matanya begitu kosong dan wajahnya sangat pucat. Kudekati tubuh yg nampak tak bernyawa itu pelan, aku tak ingin membuatnya terkejut. Tubuhnya yg semakin kurus nampak sangat kontras dengan saat kami berdua pertama bertemu.

"Niel..." Sinka tiba-tiba menyebut namaku, aku menghentikan langkahku yg mendekatinya.

"Niel..." ia menoleh ke arahku dengan tatapan kosong, senyumnya merekah sedikit namun nampak tidak ada kecerahan di matanya.

"Kenapa kamu nyelametin aku?" Tanyanya padaku tiba tiba.

"Karena kamu temenku, aku gak mau kamu kenapa kenapa" jawabku padanya.

"Apa aku pernah minta tolong?" Tanyanya kembali.

Aku terdiam tak mampu menjawab, seketika tubuhku dingin dan membatu. Perlahan tanganku bergetar akibat kata-kata Sinka. Aku dapat merasakan auranya yg terasa amat marah, sedih, dan putus asa.

"kamu tau itukan? Kamu tau kan apa yg sudah mereka lakukan?" Sinka berkata dengan tatapan kosong padaku.

"KAMU GAK USAH SOK PAHLAWAN DAN DATANG NOLONGIN AKU!!" Kata Sinka membentakku.

"Kamu tau gimana rasanya? Kamu tau gimana? Kamu pernah gak membenci sesuatu sampai kamu memimpikan apa yg kamu benci itu berulang-ulang setiap malam, setiap hari." Sinka tersenyum padaku, aku tak dapat membalas satupun perkataannya.

"Aku pernah minta tolong sama kamu, malam itu aku telepon kamu berkali kali, aku berharap kamu akan datang menolongku... aku cuma berharap kamu mau dengerin kata-kataku" Sinka kini menatap mataku tajam, aku teringat kembali saat malam ketika aku dan Ariel sedang di hotel untuk bercinta dan Sinka menelepon ku berkali-kali.

Keep It As A Secret!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang