11. Demage

27 4 0
                                    

Saat berada di ruang musik, Dio tidak begitu bicara banyak tentang seseorang yang ia maksud. Seseorang yang entah bagian masa lalunya, atau seseorang yang ada di masa sekarang tetapi enggan ia ucapkan lebih spesifik lagi.

Meski begitu, dari tuts piano nada rendah yang ia mainkan. Aku yakin orang itu sangatlah berarti baginya.

Terlepas dari itu semua, sebagaimana mestinya aku hanya berharap agar hubungan mereka berdua tetap baik-baik saja.

Sejenak, aku melupakan kisah tentang Dio dan beralih membuka pintu kamar apartemenku. Menutupnya lagi sembari salah satu tanganku menggapai alas kaki yang kupakai dan menggantikannya dengan sandal rumahan. Lalu berjalan pelan mendekati sofa.

Menaruh tas di atas meja kaca, kemudian kuhempaskan tubuhku ke atas sofa untuk segera mengistirahatkan raga dengan tenang. Seluruh badanku terasa remuk dan pegal diberbagai tempat. Bahkan pergelangan kaki bagian belakangku sedikit memerah akibat terlalu lama menggunakan high heels stiletto yang keras.

Suhu udara di luar sana masih terbilang panas, padahal sekarang sudah memasuki awal musim gugur. Kuseka peluh yang berada di sekitaran wajah. Sungguh, saat ini aku merasakan gerah yang teramat, apalagi bau asam lengket mulai mengguar dari tubuhku, Dan, mungkin saja dengan mandi aku bisa mengurangi berbagai masalah kepanasan tersebut. Maka dari itu, aku memutuskan untuk mengguyur seluruh tubuh dengan air segar serta tidak lupa menambahkan wewangian.

Beberapa waktu telahku habiskan dengan acara menyejukkan diri, aku keluar dari kamar menggunakan pakaian kasual—celana palazzo yang kupadukan dengan kaus lengan panjang agak longgar.

Langkah kakiku tertuju ke arah dapur, sekedar mengambil jus jeruk yang kusimpan di dalam lemari pendingin.

Tuk!

Aku meletakkan secangkir cairan berwarna orange di atas meja dan mendudukkan diri di sofa.

Sebenarnya, apartemen milikku ini cukup besar untuk ditinggali seorang diri dengan satu kamar tidur lumayan luas, ruang tamu, dan dapur yang lengkap dengan meha makan—yang semua ruangan sudah disekat—serta sebuah kamar mandi cukup luas di dekat dapur.

Kini, tanganku meraih remot televisi di atas meja dan menekan tombol power on/off unruk menyalakan televisi. Biasanya di jam segini yang tayang ialah drama Kolosal Korea terbaru.

Sementara menunggu iklan, kurasa memesan beberapa  makanan untuk menemani saat menonton bukanlah hal yang buruk. Tanganku beralih menggapai sebuah handphone yang kuletakkan di atas meja, lalu dengan cepat jemariku menari-nari di layar ponsel, mulai memesan apa yang ingin kumakan.

Dan, kali ini aku akan menunggu sedikit lebih lama sampai pesanan berdatangan.

Drt... Drtt...

Ponselku bergetar, menandakan ada notifikasi masuk.  Aku hanya melirik sebentar, lalu mataku kembali menatapi layar bergerak di hadapanku.

Drtt... Drtt...

Getaran itu kembali terasa, dan  kuabaikan lagi.  Namun, ternyata keputusan untuk membiarkan pesan itu begitu saja rupanya salah. Karena selanjutnya notifikasi-notifikasi lainnya mulai bermunculan dan diakhiri dengan sebuah panggilan masuk.

Ck! Aku berdecak. Dan segera mengangkat panggilan itu, meski tidak tahu siapa yang menelepon.  Membagi fokusku ke layar televisi atau pada si penelepon.

"Noona!" pekikan itu berasal dari ponsel, aku tahu itu. Walaupun adegan yang di tayangkan televisi saat ini merupakan adegan pertarungan dengan suara detingan dari pedang terdengar, disertai jerit para pelayan perempuan juga.

Perpisahan ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang