Sepotong kenangan yang tertinggal.
"Selamat pagi, Bu Dosen."
Seperti biasa, Mark akan datang menyapaku. Entah di waktu pagi ataupun siang. Setiap kali bertemu, Mark selalu menghampiriku hanya sekedar untuk menyapa yang lengkap dengan puisinya.
"Selamat pagi, Mark," balasku.
"Sudahkah Kyuso-nim berbahagia hari ini?" tanya Mark menoleh menatapku. Wajah Mark terlihat konyol dengan mata sedikit melebar hingga alisnya yang melengkung itu sedikit tertarik ke atas, tak lupa pula bibirnya ikut ia monyongkan.
"Sudah," jawabku.
Ketukan halus dari high heels setinggi 5 cm milikku terdengar setiap kali kaki-ku melangkah.
Aku membiarkan rambut hitam panjangku tergerai, melambai-lambai saat terkena terpaan angin pagi. Setiap kali pergi mengajar ke kampus, aku lebih sering bergaya monochrome yang terkesan simpel. Blouse putih lengan panjang berbahan sifon kupadukan dengan rok span berwarna hitam pendek dengan heels warna senada.
"Alasannya?" Mark bertanya lagi.
Sebagai first impression terkadang orang-orang diluar sana akan lebih menilai dari segi penampilan. Sudah menarik atau belum?
Cover is number one. Walaupun ada yang mengatakan, "Don't judge a book by its cover."
Well, di sini aku sedang membicarakan tentang nilai estetika. Bukan tentang sifat. Bagiku, dua kalimat di atas sangatlah berbeda. Di sini aku bukan sok tahu, atau apapun itu. Hanya mengulas tentang pendapatku.
Mari jawab pertanyaanku. Pertama, untuk kata cover is number one. "Seandainya ada dua buah kue donat, sama-sama memiliki lobang di tengahnya, seperti donat pada umumnya, hanya saja yang membedakannya.
"Donat pertama bentuknya sangat rapi dan hiasannya juga menarik. Sedangkan, donat kedua terlihat lembek dan hiasannya seadanya. Mana yang akan kamu pilih?"
Kedua, don't judge a book by its cover.
"Seandainya kamu ke toko buku, apa yang kamu lihat paling pertama kali sebelum membelinya?"Hati-hati dalam memilih buku. Karena buku mencakupi 3 hal penting. Sampul adalah apa yang kita lihat. Sinopsis adalah apa yang orang lain bicarakan. Sedangkan, isi merupakan orang itu yang sebenarnya.
"Karena saya sudah melihat senyumanmu." Aku mejawabnya dengan enteng. Bukan maksudku untuk merayu, tetapi itu adalah faktanya.
Mark dengan raut konyolnya, termasuk dalam salah satu list kebahagiaanku.
"Wah! Aku tersipu!" Kemudian Mark menyembunyikan wajahnya seolah sedang menyembunyikan pipi meronanya.
Aku memutarkan bola mataku. "Jangan berlebihan, Mark."
"Hhehe," tawa Mark cengengesan. "Rembulan Kyuso-nim, ajari aku berpuisi dengan bahasa Indonesia."
Kini aku mengerutkan keningku. " Kamu sudah sangat bisa, Mark," kataku mengingatkan.
"Aku tidak."
"Yes, Mark. You can!"
"No! I can't!" balas Mark dengan segala tingkah menjengkelkannya.
"Terserahmu saja." Aku mengalah. Biarkan saja.
*****
D
alam kenangan tentangmu yang samar.
Aku ingin menciptakan sebuah lagu untuk menceritakan tentang kisah pertemuan kita.
Senyummu yang terlukis di wajahmu.
Rasanya aku ingin memujimu dengan kata 'indah.
Tapi aku tak bisa untuk melakukannya.
Itu terjadi bahkan saat kau telah pergi."Rembulan?"
Aku segera menolehkan kepalaku. Ada Dio yang berdiri di dekat pintu masuk ruangan. Ia baru saja membukakan pintu itu.
"Ah, Dio-ssi," sapaku. Ingin melambaikan tangan, canggung.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Dio menaikkan sebelah alisnya.
Jujur, aku sedikit takut dengan ekspresi pria ini. Dan membuatku sedikit tak nyaman karena ketegangan yang tercipta secara tak sengaja.
Oleh karena hal itu juga, aku sedikit menggaruk tengkukku–tepatnya mengusap bulu kudukku yang tiba-tiba saja berdiri.
"Hee, bermain musik?" aku menjawab seolah tak yakin dengan jawaban itu sendiri.
Padahal jelas sekali sekarang aku sedang berada di ruang musik dan duduk di bangku bermain piano. Bahkan jemari ini baru saja menekan tuts-tuts hitam-putih itu.
Aku melihat Dio mengangguk, lalu menutup pintu. Berjalan perlahan menghampiriku.
Bahuku yang tadinya sedikit rileks kini menegang, sangat terlihat dari badanku yang menegak.
"Santai saja, aku tidak memakanmu," kata Dio berekspresi datarnya. Ia juga terlihat menyeramkan dengan bola mata besarnya.
Kini pikiranku menerawang–menduga-duga bagaimana pendapat para mahasiswa mengenai wajah horror milik Dio.
"Hei, Rembulan?" panggil Dio menatapku, sedangkan tangannya melambai di depan wajahku. Ia berniat menyadarkan aku yang melamun.
Beberapa kali aku mengedipkan mata.
Men-sugesti diri sendiri dengan kalimat penenang. Dia bukan seorang penjahat."Bolehkah aku ikut bermain?"
Selama aku mengajar di universitas yang hampir separuh waktu kuhabiskan di ruangan musik. Barukali ini aku bertemu manusia seperti Dio di dalam satu ruangan yang sama, berdua.
Aku seolah berada di ruang sidang saat diinterogasi karena kasus jahat yang kuperbuat. Tekanan. Aura Dio terlalu kuat.
Alasan kuatku untuk menjauhi Dio. Alasan kuatku untuk tidak ingin bertemu Dio.
Dia pria yang menakutkan.
Namun, kali ini. Aku tidak akan dapat menghindarinya lagi. Tidak akan pernah bisa.
"Ya, silakan."
Aku bergeser. Membagi Dio tempat duduk. Mencoba membiasakan diri. Aku rasa pria ini juga butuh hiburan.
Dio menceritakan sebuah lagu yang akan kami mainkan. Perlahan menekan tuts-tuts piano.
Melodi tercipta.
Tempo lambat.
"Rembulan, kamu ingin tahu?" tanya Dio memulai percakapan. Aku sudah terbiasa dengannya. Tidak tegang seperti sebelumnya.
"Apa?"
"Kamu mengingatkan aku pada seseorang."
Sebuah lagu tentang kesedihan dan kenangan.
*****
April 07,
------Hai, selamat malam.
Tetap semangat, ya.
Beautiful day.Jangan lupa tinggalkan jejak dengan berkomentar, ya. Kasih pendapatmu.
----------------------
Flowers,
AC
KAMU SEDANG MEMBACA
Perpisahan Manis
De TodoPerpisahan itu tak selamanya menyakitkan, ada di beberapa kesempatan menjadi sangat indah. salah satunya Beautiful Goodbye, perpisahan indah. Katanya berbicara adalah kuncinya. Namun tepatnya, berbicara dalam memberi pendapat, menyerukan isi hati u...