3. Kebenaran Pasti Terungkap - Yamashita Izumi

221 5 7
                                    

Chapter 3

Kebenaran Pasti Terungkap oleh Yamashita Izumi

Gejolak jiwa begitu ingin memberontak, terlihat dari bara api pada manik hitam yang dibingkai kotak hitam pula. Embusan napasnya putus-putus menahan beban dari dalam dada. Wanita bersurai panjang mengalihkan wajah dari seorang pria berkumis. Tangannya gemetaran.

"Sudahlah, Vin! Buat apa sih kamu memikirkan nenek tua renta itu? Toh, tidak ada hubungannya sama kamu," lontar Rizki yang menunjukkan seringaian liciknya.

Vina menelan ludah, lantas ia menatap elang pada sang atasan. "Pak, beliau punya nama. Bu An yang terhormat. Dosen yang sudah menjabat selama puluhan tahun. Bapak tega sekali memberhentikan beliau seperti itu."

Bola mata Vina mulai berkabut, entah sudah berapa lama ia selalu berdebat dengan ketua jurusan Ekonomi Bisnis di kampus swasta, AI.

"Vina! Kamu 'kan tahu nenek itu sudah pikun, enggak layak lagi untuk mengajar di kampus kita. Realistis, dong! Apalagi sekarang dalam masa pandemi seperti ini."

Rizki beranjak berdiri dari tempat membuat Vina tertegun. "Saya harus rapat, kamu kembalilah ke ruanganmu. Aku lihat mahasiswa bimbinganmu sedang menunggu."

Rizki berjalan keluar meninggalkan Vina yang masih mematung di tempatnya. Ia tidak percaya, membujuk ketua jurusannya sangatlah sulit.

"Rapat? Dasar politikus!" gumam Vina sambil menggeram, lantas ia beranjak meninggalkan ruangan.

***

Vina menatap An yang berbincang dengan karyawan TU di kampus. Matanya memandang sendu, memori kembali ke beberapa bulan yang lalu.

Vina seorang dosen Statistik yang cukup dekat dengan dosen senior, An. An sudah berusia enam puluh enam tahun, ia telah pensiun setahun sebelumnya. Beberapa kali Vina memergoki An yang mengalami demensia alias pikun. Terkadang An lupa menaruh buku, atau lupa sudah pernah mengajar bab yang sama dengan sebelumnya.

Namun menurut Vina, An masih bisa mengajar dengan layak. Hanya cukup diingatkan saja maka beliau akan kembali seperti semula, tidak sulit.

Sementara Rizki, pria empat puluh dua tahun yang menjabat sebagai ketua jurusan sekaligus sebagai anggota DPR. Pria itu jarang sekali berada di kampus karena kegiatannya sebagai politikus.

Awalnya hal ini tidak begitu mengganggu pikiran Vina, wanita tiga puluh dua tahun itu merasa wajar dengannya. Namun semenjak Rizki dengan tiba-tiba memutus pekerjaan An, membuat hati Vina sangat gundah. Vina merasa ada yang tidak beres dengan pimpinannya.

"Vina!"

Vina terkesiap mendengar seseorang memanggil, membuyarkan lamunannya. Ia menoleh, dan ia mendapati An telah berada di sampingnya. "Eh, Bu An. Sejak kapan di sini?"

An mengembangkan senyum, menunjukkan gigi yang sudah tidak putih. Matanya menyipit yang memperlihatkan kerutan semakin jelas di bawah kantong mata. Wanita tua tersebut masih menunjukkan pesonanya, cantik, wanita berketurunan Tionghoa. "Kamu sakit?"

Vina segera menggeleng. "Enggak. Siapa bilang, Bu? Ibu baik-baik saja?"

An terkekeh pelan. "Baik. Hari ini saya cuma menyapa teman-teman. Kangen. Kamu bagaimana kerjanya? Lancar?"

Vina merasakan sebuah embun di kelopak mata. Tangannya meraih tangan keriput di hadapan. "Bu, saya janji akan membantu mendapatkan hak Ibu kembali."

Wajah kusam yang tertutup bedak itu masih mempertahankan lengkungan bulan sabitnya. Walaupun bola matanya bergerak ke sana kemari, tidak fokus. "Oooh, yaa, saya enggak apa-apa kok, Dek!"

Coretan Kritik SosialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang