Chapter 4
Senyum Tersungging oleh Rizky Hadi
Pagi yang keras, dipenuhi hiruk-pikuk kendaraan. Kalau disingkap menyimpan peristiwa-peristiwa menyayat. Merasuk hati, mengetuknya dan menyisakan air mata. Situasi kali ini masih sama seperti pagi-pagi yang lain. Aku berangkat menuju tempat kerja di sebuah perpustakaan daerah. Melewati jalanan yang dipenuhi anak-anak jalanan, memulai kegiatannya: mengamen, membersihkan kaca mobil, menjajakan camilan kecil, menjual rokok.
Ketika aku minggir untuk membeli bensin eceran, mataku menyorot pada seorang anak yang tengah menjual tisu kepada pengendara mobil. Tepat di lampu merah, sewaktu para mobil mengantri menunggu satu lampu berwarna hijau. Bukan karena dagangannya tidak laku atau dia ditolak mentah-mentah oleh calon pembeli. Melainkan aku menangkap sebuah buku yang menyembul dari dalam tas selempang yang mengait di pundaknya.
Dari garis yang kutangkap dari wajahnya, anak itu mungkin berusia dua belas tahun. Usia yang lebih pantas berada di dalam kelas daripada membuang keringat di jalanan. Kemudian anak itu beralih ke mobil yang lain, senyumnya tersungging ketika menawarkan dagangannya. Tetapi buku itu tetap menarik perhatianku.
Sebagai seorang yang berkerja di antara tumpukan buku, tentu aku penasaran tentang buku yang dibawa anak itu. Sebetulnya, untuk apa dia membawa buku ketika sedang sibuk berjualan?
***
Sore harinya, ketika matahari mulai turun ke peraduan, aku sengaja memelankan kecepatan ketika melewati jalanan itu. Kepalaku celingak-celinguk, mataku menyelidik ke segala arah. Bahkan aku sampai berhenti di pinggir jalan hanya untuk memastikan bahwa anak itu tetap berjualan.
Setengah jam aku masih menunggu kemunculan anak itu. Air mineral yang baru kubeli telah tandas. Tetapi yang kulihat malah anak-anak lain, melakukan hal sama, tetapi tidak berhasil mencuri perhatian karena tidak ada buku yang dibawanya.
Aku kemudian pulang dengan membawa segala pertanyaan dan syak yang mengikat di pikiranku.
Keesokan harinya aku kembali melihat anak kecil itu. Di pagi, tempat, dan aktivitas yang sama. Dia masih menawarkan tisu dengan senyumnya yang tersungging. Aku juga masih melihat buku itu. Buku yang mencuri perhatianku, yang menyebabkan rasa penasaranku semakin bertambah.
***
Akhirnya pada hari Minggu pagi, ketika matahari mulai merangkak naik, aku putuskan untuk kembali ke jalanan itu. Mengamati anak itu. Jika kesempatan menghampiri, aku akan mencoba melemparkan barang satu-dua pertanyaan yang masih memutar di pikiranku.
Aku sengaja mengatur posisi di sebuah toko yang tak berpenghuni. Tak jauh dari tempat anak itu yang menjual dagangannya.
Sekitar satu jam, anak itu masih berjualan. Masih dengan senyum tersungging walau tisu yang ditawarkannya tidak semua laku. Tetapi kali ini aku tidak melihat buku yang dari kemarin dibawanya.
Dua jam berlalu. Karena tidak terlalu banyak yang membeli dagangannya, anak itu beralih. Dia menawarkan kepada siapapun yang ditemuinya: pejalan kaki, pedagang kaki lima, pemotor yang tengah berhenti di pinggir jalan. Nyatanya peralihan itu cukup berhasil. Tisu yang dijual cukup banyak yang laku.
Kemudian dia berjalan mengarah kepadaku. Semakin mendekat, wajah itu mulai kutangkap. Wajah yang lebih pantas duduk di dalam kelas dibanding membuang keringat. Dia kini berada di depanku. Dengan senyum yang khas itu, dia berkata, "Tisunya, Mas."
Aku tak lekas menjawab. Aku mencopot masker yang sedari tadi menutupi hidung dan mulutku.
Aku semakin jelas menangkap wajahnya. Matanya sedikit redup, hidung minimalis, bibir yang mulai kering, bulir keringat melintasi pipi. Semua itu dibungkus dan ditutupi hanya dengan sebuah senyum yang khas, senyum tersungging.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coretan Kritik Sosial
Cerita Pendek[Kumpulan Cerita Pendek] Realitanya, dunia ini tidak suci. Ironisnya, kehidupan kita tidak serba putih. Kadang-kadang kita harus mengakui itu--bahwa hidup ini ... hitam pekat seperti larut malam. *** Ini adalah proyek pertama dari Kelas Cerpen AWP.