Chapter 6
Catatan di Perbatasan oleh Rezky Indra
25 Mei 2005
"Ya, seperti inilah hidupku. Aku bingung untuk memilih yang mana."
Suara riuh kendaraan berlalu-lalang selalu menghinggapi kota. Akan tetapi, aku tidak tahu bagaimana rasanya tinggal di kota karena aku tinggal di sebuah daerah yang disebut dengan perbatasan. Setiap harinya di sini orang-orang ramai menggunakan bahasa mereka masing-masing. Namun anehnya, aku selalu saja paham apa yang mereka katakan. Aku yakin orang kota seperti kalian sangat sulit memahami situasi kami.
Kisahku tertulis dari hidup di pelataran perbatasan negeri serumpun yang penuh perjuangan untuk memikul beban konflik negeri ini. Saat itu aku masih berumur tiga belas tahun. Dengan senjata laras panjang yang mengacung padaku. Aku terdiam, sembari menangis menunggu ayahku. Pikirku berharap Ayah datang menolong, tapi hatiku takut kehilangan Ayah karena tak tertolong.
Tebasan parang membuatku gentar. Walaupun yang lebih menakutkan adalah laras panjang di pelipisku ini. Tentara negeri telah tiba. Mereka melihat isak tangis anak-anak di negeri ini. Perundingan cukup kacau, dengan kami yang menjadi taruhannya. Negara menyebut mereka ini sebagai pemberontakan, tapi mereka mengaku sebagai pengemis kemerdekaan bangsa.
Tentara negeri memulai perundingan, "Apa yang kalian inginkan?"
"Kami ingin kemerdekaan yang sesungguhnya!"
"Bukankah kalian sudah mendapatkannya?"
"Sudah katamu? Apa kalian buta? Buta dengan kemegahan kota, lalu meninggalkan pelosok negeri." Ketua kelompok itu meradang. Tampak sangat ingin menghamburkan peluru ke arah tentara negeri.
Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi saat itu. Umurku terbilang masih anak-anak, dan perundingan alot itu membuat jantungku berdenyut kencang hingga semua indra terasa mati. Yang pasti aku terbangun masih tetap di gubuk ini, rumah yang sejak kuhinggapi.
Terkadang pemerintah bersifat kejam untuk melawan kelompok yang mereka sebut sebagai pemberontak. Karena itu aku tidak tahu pasti apa yang terjadi pada mereka semua. Hingga saat ini pun tidak tampak lagi batang hidung mereka. Cukup mengherankan mengapa kelompok pengemis kemerdekaan tiba-tiba hilang bak ditelan bumi, padahal yang ia inginkan adalah hal sederhana yang selama ini pemerintah agungkan, yaitu kemerdekaan.
7 Juli 2007
Kisahku berlanjut pada masalah pendidikan, yang konon katanya menjadi prioritas utama di negeri ini. Saat itu aku bersama adik perempuanku.
"Apa kau ingin kuliah?" tanyaku.
"Tentu, aku ingin kuliah! Jika bisa hingga ke luar negeri," ujar adikku penuh semangat.
Tanganku perlahan mengelus rambutnya. Tak tega jika harus memupuskan cita-citanya. Dalam hati diriku berkata, sampai kapan desaku terus tertinggal seperti ini.
Asal kalian tahu, aku dan seluruh anak di perbatasan ini mengenyam pendidikan di Sekolah Satu Atap, atau yang disingkat SATAP. Di SATAP ini kami berbagi dengan murid asal negara lain, yaitu Malaysia (khususnya Sabah dan Kuching.) Jika tidak di SATAP maka kami bersekolah di Sekolah Terbuka. Lalu, bagaimana fasilitasnya? Tentu tidak bagus. Ini hanyalah sekolah pinggiran, jauh sekali jika dibandingkan dengan sekolah di kota.
"Berarti jika aku kuliah harus ke luar kota dulu ya, Kak?" tanya adikku.
"Iya, mau bagaimana lagi. Di sini tidak ada universitas, dan sekolah menengah pun hanya sedikit," jawabku.
18 Agustus 2008
Aku masih ada kisah lainnya, waktu itu sepupuku akan melahirkan. Akan tetapi, untuk menuju rumah sakit harus menempuh jarak sejauh tiga kilometer. Selain jarak yang cukup jauh, medan jalan pun menjadi penghambat perjalanan itu. Semuanya hanyalah hamparan tanah, tanpa sedikit pun cor atau aspal. Medan ini semakin nikmat apabila turun hujan. Puluhan tahun kami selalu seperti ini. Perjuangan untuk melahirkan menjadi semakin sulit.
"Kami sudah melaporkan ke Kepala Desa, tapi dana pembangunan dari pusat belum turun."
Perlu kalian tahu istilah menunggu selalu ada lawannya, yaitu menjemput. Jangan sampai ada lagi peristiwa penjemputan dana desa. Apabila ini terjadi maka akan kembali terulang peristiwa saat aku berumur tiga belas tahun lalu, yaitu penyanderaan dan pemberontakan. Indonesia selalu mempertahankan budaya buruk. Yaitu menyalahkan orang lain apabila ada kesalahan, tanpa pernah berkaca diri. Menganggap orang lain melakukan kesalahan, tanpa berpikir sebenarnya karena ialah yang menjadi penyebab orang lain beraksi.
9 September 2009
Saat ini aku harus bekerja, maklum saja aku telah tamat pendidikan menengah atas. Mau lanjut kuliah pun aku tidak memiliki biayanya. Lebih baik aku fokus bekerja untuk membiayai sekolah adikku.
Aku bekerja di Sabah, Malaysia. Mengangkut getah kayu pinus sebagai bahan pembuatan tekstil. Jalan yang ditempuh cukup jauh karena menggunakan jalur darat. Bersama sahabatku, Uyau. Upah kami sedikit, walaupun sudah dalam bentuk ringgit. Tidak perlu memohon lebih, untuk sekadar memperoleh pekerjaan pun kami sangat bersyukur.
Hari-hari kami selalu tersedia produk dari negeri seberang, Malaysia. Mata uang kami ada dua, yaitu rupiah dan ringgit. Rasanya tak perlu ditanyakan mengapa kami menggunakan ringgit. Inilah perbatasan, tidak ada peraturan yang mengikat kami. Beruntung kami masih bisa makan, walaupun menggunakan produk dari negeri seberang.
10 Oktober 2010
Duka menimpa keluarga kami, ayahku yang telah tua renta akhirnya kembali ke pangkuan-Nya. Aku berusaha ikhlas, dan tegar menerima kenyataan ini. Kini tulang punggung keluarga resmi berpihak padaku. Targetku hanya mengarah kepada kebahagiaan ibu dan adikku. Amanat terakhir ayahku selalu kuingat.
"Ikam becari nang bujur lah, laki tu harus tahan jan pina melamah. Abah urang ni mang udah tuha, lawas atau pina lakas nya musti pergi juha."
("Kamu harus kerja dengan serius ya, laki-laki itu harus kuat jangan cengeng. Bapak ini memang sudah tua, cepat lambatnya pasti akan kembali ke atas juga.")
"I'ih ,Bah. Ulun janji begawi bujur-bujur, nang nantinya sekolah Lala ke kuta seberang."
("Iya, Pak. Saya janji kerja dengan sungguh-sungguh, dan nantinya menyekolahkan Lala sampai ke luar kota.")
11 November 2011
Perekonomian kami mulai stabil, kini ibuku tidak perlu lagi bersusah payah mencari tambahan rizki. Lala si adik kecilku pun sudah beranjak remaja, tepatnya sudah SMA sekarang. Namun, di balik itu semua desa kami masih tertinggal. Akses internet di sini pun tidak ada. Karena itu terkadang Lala harus menyeberang ke Sabah hanya untuk sekadar mencari informasi dunia luar.
12 Desember 2012
Kehidupan ibu dan adikku hanya bergantung padaku. Namun, kini aku pun mulai tidak sanggup menafkahi mereka. Bukan karena aku tidak mau, melainkan karena tubuh muda tapi renta inilah penyebabnya. Aku selalu berjuang melakukan yang terbaik, demi memenuhi amanat ayahku. Tapi kini, mungkin sudah waktunya. Waktunya telah berakhir.
Sejak aku kecil mata sebelah kiriku telah mengalami katarak. Berangsurnya waktu mata kiri ini mulai membuta, dan merambat ke mata kananku. Kini harapanku pupus, beserta adikku. Andai saja fasilitas di sini memadai, tentu aku akan membaik. Namun, keluh kepada pemerintah hanyalah sekadar gurauan bagi mereka yang di atas. Kenyataan sudah termaktub, tidak ada perubahan.
1 Januari 2013
Catatan ini berakhir ketika diriku telah berada di negeri seberang. Negeri elok yang konon katanya penghasil sawit.
Catatan ini kuakhiri bersama dengan kepergian kakakku—Galuh.
Catatan ini kutulis untuk mengenang perjuangan kakakku—Galuh.
Catatan ini telah habis, dengan penulis adik terkasih.
Catatan ini tersimpan bersama kenangan kakak dan ibuku.
Inilah aku, tertanda Lala—adik Galuh sang pejuang perbatasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coretan Kritik Sosial
Short Story[Kumpulan Cerita Pendek] Realitanya, dunia ini tidak suci. Ironisnya, kehidupan kita tidak serba putih. Kadang-kadang kita harus mengakui itu--bahwa hidup ini ... hitam pekat seperti larut malam. *** Ini adalah proyek pertama dari Kelas Cerpen AWP.