Chapter 1
Dengarkan Aku oleh Ratna Sofiya
Aku merupakan anak yang pandai di kelas. Selalu menduduki peringkat 3 besar. Aku mempunyai banyak teman yang menganggapku sebagai anak yang ramah dan selalu mendapat pujian dari guru. Mereka pikir aku bahagia dengan itu semua. Mereka mungkin berpikir aku adalah anak yang sangat beruntung. Hei, tapi itu sangat salah.
Aku selalu menuruti semua keinginan orang tua sejak masih kecil. Mereka berdua berharap banyak karena aku merupakan anak mereka satu-satunya.
Terbebani? Tentu saja. Kalian boleh berharap padaku tapi setidaknya dengarkan juga pendapatku. Kalian selalu memutuskan sesuatu dengan tiba-tiba. Itu membuatku muak.
"Eva, dari mana saja kamu?"
"Maaf, Ayah. Eva baru pulang dari latihan menari untuk lomba." Ayah menampilkan wajah tidak sukanya.
"Sudah berapa kali Ay—"
"Eva tahu Ayah. Eva akan belajar dengan giat," kataku pergi begitu saja.
Kulihat Ayah hendak kembali berbicara tapi kemudian dia urungkan niatnya. Setiap kali aku pulang ke rumah, Ayah selalu bertanya begitu.
Karena aku anak yang jujur, aku jawab seadanya saja. Setelah itu pasti Ayah akan berkata, "Sudah berapa kali Ayah bilang. Tugasmu hanya belajar! Tidak perlu ikut-ikut kegiatan menari atau semacamnya!"
Katakan aku adalah anak yang tidak sopan. Aku akui itu. Tapi di sini aku sudah benar-benar kesal. Setiap hari hanya belajar, belajar, dan belajar. Rasanya seperti kau ada di tempat yang sama sepanjang waktu tanpa melakukan hal lain selain duduk. Kepalaku terasa mau meledak.
Menari adalah salah satu hobiku dari kecil. Nenek yang mengajarkannya padaku. Namun, dengan alasan tidak masuk akal dan yang pasti tidak jelas, Ayah dan Mama melarangku untuk melakukannya. Aku sempat berdebat dengan mereka berdua. Namun, hasilnya itu hanya membuat suaraku habis. Sia-sia, mereka tetap kukuh pendirian. Begitu juga denganku yang tetap ingin melanjutkan hobi.
Setelah perdebatan panjang itu, aku pergi ke rumah sahabatku untuk menenangkan diri. Di sana aku menangis cukup lama. Bercerita tentang kejadian yang baru saja aku alami. Dia merupakan orang yang konyol dan lucu. Saat aku sedang bersedih seperti itu, dia dengan konyolnya menceritakan lelucon padaku. Aku sangat beruntung mempunyai sahabat seperti dia.
"Eva, kamu beneran gak mau pulang? Udah malem nih," ucap Erina mengkhawatirkanku.
"Gak, aku masih mau di sini," jawabku menolak.
Erina menghela nafasnya. Sepertinya dia sudah mulai lelah menghadapi diriku yang keras kepala ini.
Malam itu kami habiskan dengan bercerita dan menonton film horor. Lagi pula besok hari Minggu, jadi kami bisa bergadang sepuasnya.
***
Pagi-pagi sekali aku langsung pulang ke rumah. Bahkan aku tidak sempat berpamitan pada Erina karena terburu-buru. Aku tidak mau menambah masalah dengan orang tua.
Benar saja, saat aku hampir menaiki anak tangga pertama, Mama memanggilku.
"Dari mana saja kamu, Eva?"
"Eva menginap di rumah Erina."
Mama, orang yang seharusnya bisa menjadi tempat keluh kesahku ternyata sama saja dengan Ayah. Sama-sama suka memaksaku. Kadang aku iri pada Erina. Orang tuanya selalu mendukungnya. Aku iri akan hal itu. Namun, aku tahu itu tidak ada gunanya.
Mama pergi begitu saja. Beliau seakan-akan hanya menganggapku sebagai barang bukan manusia. Aku menghela napas kemudian kembali berjalan menuju kamarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coretan Kritik Sosial
Conto[Kumpulan Cerita Pendek] Realitanya, dunia ini tidak suci. Ironisnya, kehidupan kita tidak serba putih. Kadang-kadang kita harus mengakui itu--bahwa hidup ini ... hitam pekat seperti larut malam. *** Ini adalah proyek pertama dari Kelas Cerpen AWP.