Chapter 7
Siapa yang Harus Jadi Korban? oleh Devina Kwan
Aku berkunjung ke rumah salah satu teman lama, hanya sekadar untuk silaturahmi. Pada zaman modern ini, media sosial mempertemukan kami yang sudah belasan tahun tak bertemu.
Hari sudah beranjak sore, Maura mengajakku untuk mengobrol di dalam kamarnya. Mataku terpaku pada salah satu foto yang terpajang di atas meja kerja. Dua orang perempuan dan tiga orang laki-laki berfoto dengan latar belakang sungai dan pohon-pohon tinggi hijau yang memikat penglihatan.
"Wah, ini di mana, Ra?" tanyaku antusias sambil menyorongkan foto.
Matanya muram dan sunggingan bibirnya menurun sesaat menatap rekam jejak miliknya.
***
"Rio! Rio!"
Maura dan ketiga temannya mencari-cari Rio di mana Rio terakhir terlihat. Matahari sudah hampir menenggelamkan diri. Mereka berempat berusaha secepatnya mencari sahabatnya.
"Tadi Rio bilang ke mana sih?" tanya Lena yang berambut panjang sambil tangannya menyibak ilalang tinggi.
"Katanya cari tempat untuk mengeluarkan hajat," jawab Martin yang tidak jauh di belakang Lena.
"Lho, tadi katanya mau cari kayu bakar buat api unggun nanti?" timpal Maura yang membuat pencarian sesaat terhenti dan mereka saling bertatapan. Segala pikiran dan pertanyaan berkecamuk.
"Katanya kalau terpisah enggak boleh sampai lebih dari jam magrib lho," tambahnya, "gimana ini?"
Namun sayang, matahari sudah telanjur terlelap. Rencana pencarian pun dilanjutkan keesokan paginya. Keempat orang yang tersisa masih ada. Maura melihat hal ganjil pada diri Lena. Saat terbangun, Lena hanya terdiam terus. Padahal biasanya, ia yang paling rajin menyapa teman-temannya saat bangun di pagi hari.
"Lena, kamu sakit?" tanya Maura saat Lena sedang duduk memanaskan air di luar tenda. Maura berjongkok di sebelahnya.
Lena hanya menggeleng sambil memainkan tangan. Hening selama beberapa detik. Lena malah berdiri dengan sangat perlahan. Maura melihatnya berbalik menuju tenda. Cara berjalannya pun lebih pelan daripada biasanya.
"Ra, jadi enggak?" Leon menghampiri Maura.
Maura berdiri masih memperhatikan Lena yang sekarang menutup tenda. Leon ikut memandang ke arah yang Maura lihat.
"Kenapa, Ra?"
"Tiba-tiba aneh sikapnya," jawab Maura mengerutkan dahi, "diam terus sejak bangun."
"Kalau gitu, aku dan Martin saja yang cari Rio ya?" tanyanya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Mereka mulai panik karena selain Rio yang tak kunjung datang, sekarang malah Lena yang bersikap sangat aneh. Maura bingung juga bagaimana menjawab Leon. Dari awal mereka sudah berjanji tak akan berpisah dalam keadaan apa pun, kecuali keadaan privasi.
"Eh, itu siapa?" tiba-tiba Martin berteriak dari arah belakang.
Maura dan Leon otomatis menoleh, lalu mengikuti arah tunjuk Martin yang berada agak jauh di depannya. Terlihat sosok pria yang membawa deterjen putih, lalu mengambil air di sungai. Mereka pun berlari menghampirinya.
"Permisi, Pak," sapa Martin saat sudah mendekat.
Sosok pria itu memakai blangkon coklat hitam, kaos hitam, dan bercelana bahan hitam. Ia berdiri, lalu berbalik tersenyum ke arah mereka. "Lho, sejak kapan adik di sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Coretan Kritik Sosial
Historia Corta[Kumpulan Cerita Pendek] Realitanya, dunia ini tidak suci. Ironisnya, kehidupan kita tidak serba putih. Kadang-kadang kita harus mengakui itu--bahwa hidup ini ... hitam pekat seperti larut malam. *** Ini adalah proyek pertama dari Kelas Cerpen AWP.