8. Kabar Angin - Ariantini

154 4 1
                                    

Chapter 8

Kabar Angin oleh Ariantini

Pembagian rapor telah usai. Beberapa murid menghabiskan waktu untuk menikmati makanan kantin sebelum mereka menginjak libur panjangnya.

"Nya, selamat, ya! Lo emang terbaik! Jadi juara bertahan gak gampang!" Diva terus saja memuji sahabatnya itu.

"Udah, Div. Lo bisa aja mujinya. Ini cuma kebetulan kok." Anya tersenyum manis berusaha tidak terbuai dengan pujian-pujian yang ia dapatkan sedari tadi.

"Kebetulan apaan dua kali berturut-turut, astaga!"

"Eh!" Anya terbangun dari duduknya saat ia merasakan sebuah cairan dingin menumpahi seragamnya.

"Ups! Maaf, gue khilaf!" ucap gadis cantik berperawakan model itu dengan sarkastis.

"Kinan! Lo bener-bener, ya! Gak ada sopan-sopannya jadi manusia!" Emosi Diva membara melihat sikap Kinan yang keterlaluan.

"Orang miskin kek kalian gak usah sok nyolot, ya!" Kinan tersenyum miring di akhir kalimatnya.

"Jangan sombong lo, ya! Lo emang kaya harta! Tapi lo gak punya otak dan miskin akhlak!" Diva semakin menaikkan nada bicaranya.

"Eh, jaga mulut lo, ya!" Kinan menuding Diva dengan mata yang nyaris membulat sempurna.

"Loh, kenapa? Emang kenyataannya, 'kan? Lo masuk sekolah ini kan hasil nyogok, kalau gak begitu, mana bisa lo masuk sekolah favorit ini. Dan uang yang dipakai nyogok pun belum tentu halal." Diva tersenyum puas melihat wajah Kinan yang memerah.

"Gue pasti buktiin kalau gue masuk sekolah ini tanpa nyogok! Dan ucapan lo itu hanya kabar angin!"

"Mau buktiin pakai apa? Prestasi model lo? Lo baru dapat prestasi itu tahun ini. Sedangkan lo tahun kemarin daftar ke sekolah ini. Udahlah! Gue tahu semua tentang lo. Tapi gue diem selama ini." Diva menatap tajam Kinan yang terlihat semakin kesal.

Kinan berbalik lalu meninggalkan Anya dan Diva yang kini menatap puas kepergiannya. Gadis kaya itu merasa sangat kesal akibat dipermalukan oleh ucapan Diva yang menurutnya sangat keterlaluan.

"Div, lo gak boleh ngomong begitu. Kasian Kinan." Anya menasihati sahabatnya yang masih saja tersenyum miring menatap punggung Kinan yang sudah menjauh.

"Nya, kalau lo diem aja hadapin sikap kurang ajar si Kinan, lo bakalan terus jadi bulan-bulanan dia. Lo gak tahu gimana sikap asli dia. Bener-bener songong banget! Sekali-kali bolehlah gue menyadarkan dia tentang hidup dia yang penuh kebohongan itu." Emosi Diva masih terlihat berkobar-kobar.

"Iya iya! Tapi lo seharusnya sebagai sepupu nasehatin dia baik-baik, Div."

"Percuma gue nasehatin dia. Gue emang sepupu sama dia. Tapi sikap sombong dia buat gue malu mengakui dia sepupu, Nya."

***

Kinan memasuki rumahnya dengan penuh emosi. Rumah besar itu terlihat sepi. Para asisten rumah tangga juga tak terlihat. Kinan melempar ranselnya dengan kasar sehingga menimbulkan suara yang cukup keras.

"Sayang, kamu kenapa? Baru datang udah ngamuk-ngamuk." Suara lembut Nara tak membuat emosi putrinya surut.

"Mana Papa? Kinan mau bicara sama Papa sekarang!" Kinan berucap dengan nada tinggi, membuat mamanya terkejut.

"Sayang, Papa lagi di ruang kerja. Kita gak bisa ganggu dia," tutur Nara masih dengan lembut.

"Kinan gak peduli!"

Gadis itu berjalan menuju ruang kerja papanya, Nara tak bisa lagi melarang. Karena sikap keras kepala yang Kinan miliki tidak akan bisa dikendalikan saat gadis itu marah. Kinan berhenti tepat di depan ruang kerja papanya. Pintu itu tidak tertutup rapat. Kinan masih bisa melihat papanya dari luar. Suara papanya pun terdengar jelas.

"Jadi, kita amankan di mana uang itu?"

"Laporannya sudah diubah?"

"Bagus, jangan sampai ada yang curiga bahwa kita mengubah laporannya."

"Papa!" Kinan membuat papanya terkejut dan segera memutuskan sambungan teleponnya.

"Kamu kok gak ketok pintu dulu?"

"Uang apa yang Papa bicarakan di telepon?!" Kinan menatap tajam papanya.

"Itu urusan perusahaan, Sayang. Kamu gak ngerti apa-apa." Danan tersenyum menatap putrinya.

"Kinan mau tahu, gimana cara Papa daftarin Kinan ke sekolah favorit itu?!" Kinan menekankan setiap kata yang ia ucapkan.

"Untuk apa kamu tanya begitu, Sayang?" Danan terlihat khawatir dengan pertanyaan yang dilontarkan putrinya itu.

"Jawab, Pa! Kinan masuk sekolah itu lewat apa?! Nilai Kinan aja gak cukup masuk ke sekolah itu. Prestasi? Kinan sama sekali gak punya prestasi akademik maupun non akademik." Kinan menatap penuh tanya ke arah ayahnya yang terlihat membisu.

"Sayang, kamu gak perlu tahu hal itu. Kamu cukup belajar dengan baik dan banggakan Papa sama Mama."

"Kenapa semua yang Kinan tanyakan gak ada jawabannya? Kenapa, Pa?! Apa bener yang Kinan dengar di luar sana kalau Papa ini korupsi di kantor? Uang haram itu yang Papa pakai menyogok agar Kinan bisa diterima di sekolah favorit itu?!" Buliran air mendesak untuk keluar dari mata indah Kinan.

"Sayang, kamu masih terlalu muda untuk paham semua ini." Danan memegang bahu Kinan, berusaha menenangkannya.

"Kinan gak butuh umur untuk memahami maksud jawaban Papa! Kinan kecewa sama Papa! Kinan gak nyangka Papa melakukan hal menjijikan itu! Kinan gak pernah berharap bisa hidup mewah atau bersekolah di sekolah favorit itu dengan uang haram hasil korupsi, Pa! Kinan gak berharap!" Kinan terduduk lemas. Cairan bening itu telah berhasil menerobos melewati pipi tirusnya.

"Maafkan Papa!" Danan memeluk putrinya yang terlihat hancur dengan semua yang telah ia lakukan.

"Papa hanya ingin kamu bahagia! Hanya itu, gak lebih."

"Kinan sama sekali gak bahagia dengan semua ini. Kinan malu, Pa. Kinan gak tau bagaimana cara Kinan menghadapi dunia setelah tahu semua ini." Kinan masih menangis, dadanya terasa sangat sesak.

"Papa janji, ini yang terakhir. Papa gak akan lagi melakukan hal buruk itu." Danan merasa hancur melihat kekecewaan di mata putrinya itu.

Nara berdiri mematung. Menatap suami dan putrinya yang kini dipenuhi penyesalan dan kekecewaan. Nara mendekat dan ikut bersimpuh memeluk putrinya.

"Maafin, Mama. Ini semua karena Mama." Nara merasakan matanya kabur akibat buliran air yang memenuhi pelupuk matanya.

Kinan menatap mamanya penuh tanda tanya. Berusaha memahami maksud ucapan mamanya. Namun, Kinan sama sekali tak bisa mengerti mengapa ini semua bisa terjadi. Kinan munggu penjelasan mamanya dengan diam. Sedangkan papanya hanya bisa menarik napas dalam-dalam.

"Mama yang minta Papa melakukan semua ini, karena Mama ingin hidup kita lebih baik dari sebelumnya. Mama gak mau kamu hidup melarat. Maafin Mama. Mama tahu ini semua perbuatan yang salah dan memalukan." Nara tertunduk dengan air mata yang sudah tumpah.

***

Sikap sombong dan keras kepala Kinan telah lenyap bersama dengan rasa malu yang diberikan papa dan mamanya. Kinan bahkan tak mampu menatap mata Anya dan Diva saat bertemu.

Setelah kejadian itu, Kinan berubah. Ia lebih banyak diam. Tidak lagi ada kalimat-kalimat kasar yang keluar dari mulutnya. Kabar angin yang ia dengar ternyata adalah kenyataan besar yang dibungkus rapi oleh papa dan mamanya.

TAMAT

Coretan Kritik SosialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang