Chapter 2
Kecamuk Pasir Sungai oleh Neo Hernando
Siang hari di bantaran Sungai Wungkal makin membara. Tidak hanya panas oleh corong garang sang matahari, tetapi juga dikarenakan emosi para penambang yang mendidih. Tak sedikit pun tubuh serasa gosong terpanggang sebab bertelanjang dada. Malah, dengan keadaan yang sedemikian rupa itu, mereka makin semarak.
Seseorang habis bicara, serentak kawan-kawannya mengangkat sekop atau ember besi sembari berteriak, "Hidup penambang pasir! Hidup!"
Dialah Tamjo. Berwajah tirus dengan tulang pipi menonjol menjadikannya pemimpin yang disegani. Untaian kalimat indah dari bibir gelapnya mirip deru sungai di belakang. Kuat dan tegas. Pun nyaring bak geledek. Meski yang diucapnya lebih banyak sumpah serapah, tidak satu pun keberatan melambung.
Para penambang setuju bahwa pemilik tambang pasir layaknya anjing. Hewan yang suka menjilati bokong sendiri. Bahkan kelakuan anjing dipandang lebih elok daripada manusia serakah yang berperilaku seburuk hewan.
"Angkat tangan kalian! Serukan keadilan!" teriak Tamjo.
Dilihatnya kawan-kawan penambang mengangkat tangan kanan tinggi-tinggi. Tamjo tahu, mereka semua menahan nyeri di bahu. Entahlah, linu yang akrab bagi penambang pasir mendadak hilang sebab menolak kezaliman.
Ya, ya, seperti itu, benar kawan-kawanku. Dan lihatlah, polisi-polisi ini sebentar lagi akan berpihak pada kebenaran. Kepada kita, orang-orang kecil, kaum penambang! Apakah Pak Bupati tidak resah dengan seruan rakyat? Ataukah beliau juga dikerangkeng dan diberi makanan kaleng? Ah, kita lihat nanti. Seekor anjing pada akhirnya tidak bisa lepas dari si pemberi makan.
Menelan ludah, Tamjo mengingat-ingat alur hidup yang tak pernah lurus. Banyak lika-liku dan halangan. Sekalinya lurus, jalanan penuh kerikil tajam yang menyakitkan di tapak kaki. Pernahlah ia bersakit-sakitan di Sungai Wungkal agar istri dan bayi di puskesmas dapat ditebus. Pinggang dan bahu pada pegal linu, menyerok dasar sungai dari pagi hingga magrib. Demam tinggi pun menjenguk, lelaki tetap memaksa diri bekerja. Pikirnya, akan dikemanakan lagi nasib keluarga kecilnya bilamana pekerjaan utama dirampas mesin?
Boleh jadi aksi demonstrasi dan mogok kerja ini adalah keegoisan Tamjo belaka. Ia pun awalnya ragu akankah kawan-kawan penambang akan ikut menentang kebijakan pemilik izin tambang? Rencana-rencana cadangan disiapkan manakala rencana utama gagal.
Namun, kali ini jalan hidupnya seolah teraspal walau beberapa meter. Ia disambut baik, malah sekarang dijadikan pemimpin demonstrasi berkat pemikiran kritisnya. Bupati dan pemilik tambang dipanggil untuk menghadapi unjuk rasa atas tindakan semena-mena yang mengancam masa depan penambang pasir.
Kedua orang itu belum juga datang, tetapi Pak Bupati telah mengirimkan utusan untuk mendengarkan aspirasi penambang. Pakaian batik khas nusantara. Sepatu pantofel mengilap. Jam tangan logam yang pasti mahal harganya. Dari pinggir utusan itu hanya berdiri memandangi Tamjo dan kawan-kawannya. Merasa aman karena kawalan polisi setempat.
"Penggunaan alat berat harus dilarang!"
"Kami rakyat kecil, bukan rakyat dungu yang hanya bisa dikibuli!"
"Memang kita makan langsung sambar dari pasar? Makan itu butuh uang. Jika kami digantikan alat berat, kami makan apa! Makan penindasankah?"
Tamjo tersenyum, bangga karena pemikirannya berhasil tersampaikan kepada lulusan-lulusan sekolah dasar. Sekian banyak teriakan, kini tiba gilirannya. "Ini tanah kami, tanah rakyat! Mereka-mereka yang rakus, akan kita ringkus! Orang-orang yang mata duitan, bakal kita khitan! Manusia-manusia picik, bisa kita racik! Ini tanah nenek moyang kita, masakan menyengsarakan pewarisnya? Betul?"
"Betul!" teriak mereka bebarengan.
"Hidup Indonesia!"
"Hidup!"
"Hidup rakyat!"
"Hidup!"
"Hidup penambang pasir!"
"Hidup!"
"Bapak utusan bupati, apa Anda cuma bisa plonga-plongo?" tanya Tamjo. Diamatinya dalam-dalam mata lelaki itu. Mata pecundang ternyata. "Ah, saya tanya lagi, apa pekerjaan Bapak di gedung megah itu seperti ini? Kenapa tidak menjawab? Karena Anda makan gaji buta! Kami tidak bisa terus menunggu kekaburan, kami butuh kepastian!"
"Pak Bupati masih berdiskusi dengan pemilik izin. Mohon Bapak-bapak bersabar. Nanti kalau sudah ada keputusan, beliau akan mengabari saya."
Tamjo mengerutkan kening. Sampai kapan akan menunggu? pikirnya. Terlintas pengalaman pahit sebagai penambang pasir. Perihal tunggu-menunggu berujung sengsara. Susah payah ia menyelam dan menyerok pasir dengan ember besi, menuangkan ke rakit, balik menyelam. Begitu seterusnya hingga muatan penuh.
Sesampainya di bantaran sungai, truk belum juga sampai. Menyambi menambang hingga sore, masih tidak ada tanda-tanda truk akan datang. Alhasil upah hari itu tidak cukup untuk makan esok hari. Terpaksa menahan lapar di tengah siksaan arus Sungai Wungkal. Usut punya usut, truk mogok di tengah jalan dan penambang dicekoki getahnya.
"Sabar, sabar! Bapak kira dengan modal sabar, ujug-ujug masalah bisa selesai? Tidak, Pak. Kita, rakyat kecil, bukan seperti Bapak yang cuma duduk enak ujug-ujug dapat berkah. Kita banting tulang ujug-ujug dapat cobaan. Tidak adil sekali. Betul tidak, kawan-kawan?"
"Betul!"
"Atau karena yang di atas serba-ujug-ujug, olahannya mirip ijuk. Cara pemasarannya pun ujug-ujug, ternyata yang bawah kena bujuk. Owalah, nasib, nasib!"
Tamjo memandangi ekskavator di belakangnya. Tidak ada angin, tidak ada hujan, benda raksasa ini tiba-tiba muncul begitu saja. Ajaib benar, pikirnya. Boleh jadi garukannya mengerikan. Mana tahu sekali mengorek lembaran lima ribu hilang. Begitu seterusnya hingga dompet kelaparan dan akhirnya tewas mengenaskan. Si empunya dompet bisa apa? Makanan saja tidak punya, sok-sokan memelihara dompet. Mau membanyol?
Balik mengamati wajah-wajah pejuang kehidupan, tidak semua dari mereka adalah warga desa setempat—sebagian dari desa tetangga. Pagi hari mendayung sepeda untuk mencari nafkah. Siang hari akan cangkruk di warung-warung sekitar karena tak sempat istirahat di rumah.
Satu jam berlalu, bekerja kembali sampai jam pulang. Andaikata benar mereka semua diberhentikan, bukankah yang berkuasa hanya menabur benih kepalsuan? Tidakkah penguasa kagum akan urat-urat kehijauan di sekujur tubuh para pejuang kehidupan? Entahlah. Dan boleh jadi ini termasuk keegoisan Tamjo. Keegoisan atas nama kerakyatan yang berkemanusiaan.
"Sudah ada keputusan dari Pak Bupati! Sekarang beliau sudah di perjalanan."
Tanpa komando Tamjo, para pedemo spontan bertepuk tangan sambil berteriak, "Merdeka! Merdeka!"
Wajah lelaki itu masih tegang. Kedua alisnya dijembatani kerutan. Beberapa kali mengerjap, kemudian memandangi langit. Biru dan bersih. Angin berembus, menggoyang-goyangkan dedaunan sepanjang Sungai Wungkal. Banyak yang terjatuh dan hanyut bersama kencang arus sungai. Gemuruh dan gemercik bersahut-sahutan. Kicau burung pelatuk terdengar dari barisan pohon jati. Alam tampak bersukaria, senandungnya ramah di telinga.
Matahari di atas kepala sudah lama oleng, habislah alunan musik alam. Dari barat terdengar sayup-sayup deru mobil. Bak guruh di langit cerah datanglah dua mobil polisi, satu mobil dinas hitam mengilap, serta dua truk penuh polisi lengkap dengan atribut keamanan. Tamjo dan pedemo pada melongo, bertanya dalam hati masing-masing, "Buat apa polisi sebanyak ini?"
Ketika mobil dinas mewah itu berhenti, si pemilik izin keluar bersama bupati. Terlihat berbincang-bincang dengan santai. Jauh dari harapan Tamjo: obrolan penuh dengki dan perselisihan. Tak mengira keadaan bakal berbalik. Otak pun bekerja sangat keras hingga berkepul-kepul. Tamjo tiba-tiba berteriak, sekop diangkatnya tinggi-tinggi.
Malang, 10 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Coretan Kritik Sosial
Historia Corta[Kumpulan Cerita Pendek] Realitanya, dunia ini tidak suci. Ironisnya, kehidupan kita tidak serba putih. Kadang-kadang kita harus mengakui itu--bahwa hidup ini ... hitam pekat seperti larut malam. *** Ini adalah proyek pertama dari Kelas Cerpen AWP.