5. Bebas - Tia Ayu

141 5 3
                                    

Chapter 5

Bebas oleh Tia Ayu

"Aku enggak pengin pergi!" kataku yang masih berkutik dengan ponsel, "lagi pula aku sudah pernah ke sana, aku ... ya sudahlah. Assalamualaikum, aku pasti menghubungi kalau sudah sampai." Aku mencium tangannya lalu rambutku yang terbalut kerudung dibelainya pelan.

Lagi-lagi kuakhiri pembicaraan dengan menyunggingkan senyum.

Saat melirik seorang gadis dengan balutan pashmina hitam dan hoodie serta celana hijau memasang ekspresi datar padaku, aku langsung membukakan pagar untuknya.

"Kelamaan. Langsung aja, yuk." Gadis itu membenarkan sepatu kets yang awalnya diinjak bagian belakangnya.

Aku langsung mengucap kata maaf tanpa ekspresi. Tanpa merasa bersalah, aku pun berlatih tersenyum di spion motor hitam yang sudah dinyalakannya. Lantas aku buru-buru naik karena tangannya yang dilipat membuatku merinding.

"Aku enggak bisa bicarain ke Ibu, barusan aku coba terus tiba-tiba enggak bisa. Terlalu malu ah nangis di hadapan beliau."

"Ya udah enggak apa-apa, kan masih ada aku," jawab Adira santai.

"Sa ae lo mblo." ujarku sambil menepuk bahu makhluk di depanku, jadilah di spion tampak matanya yang melotot.

"Bagaimanapun aku juga ingin ketemu. Pokoknya kangen Ra. Titik." Aku melihat sekeliling, meskipun sedang pandemi, jalanan tetap ramai dengan sepasang kekasih yang mau malam mingguan. Kaca helm kuturunkan agar pikiranku tidak semakin terganggu dengan pasangan dan keluarga yang tampak bahagia di perjalanan.

"Udahlah, ngapain sih orang seperti itu masih dipikirin?" Adira masih mempertahankan ekspresinya yang datar.

"Aku sendiri enggak bisa jelasin perasaan ini. Kayak aku yang gak ngerti masalahmu, kamu pun begitu Ra." ucapku sedikit tersulut emosi.

"Udah jangan mancing keributan. Berhenti depan toko buku itu dulu ya, aku mau beli sesuatu."

Aku sadar, kalau suasana hatiku sedang buruk jadi tak seharusnya aku banyak berkomentar.

Adira memberikan sebuah bakpao yang masih hangat. Rupanya ia berusaha menenangkanku yang sedang kalut. Begitu saja sudah membuatku lupa dengan pembicaraan dengan Ibu. Kalau dipikir-pikir, hampir tak pernah ada yang bilang bahwa kehidupanku tak baik-baik saja. Bukan karena aku berpura-pura bahagia. Bisalah dilihat dari mata kalau aku memiliki segalanya. Apa sih yang tidak kupunya? Kasih sayangnya? Hanya itu?

"Besok aku gak jadi nemenin kamu beli perlengkapan, harus daftar les matematika sama bahasa Inggris, oh iya basketnya juga belum. BTW kamu udah pasti keterima di SMA itu kan?" kata Adira usai memberikan selembar uang dua puluh ribuan kepada penjual bakpao.

"Alhamdulillah udah kok. Kamu, enggak capek ya gitu terus?" tanyaku jujur.

Yang aku katakan sama sekali tak membantu. Yang ada, kita akan saling membanding-bandingkan masalah yang tak ada habisnya seperti ramainya jalanan sore ini. Ujung-ujungnya kita bisa berakhir dengan pertengkaran yang bikin perasaan serasa naik roller coaster.

"Kita ini kan posisinya sebagai anak. Bisa apa? Ya bisa aja sih ngebantah, kalau Ibuku seperti Ibum—" Adira mendongakkan kepalanya dan menatap langit.

"Maaf. Aku gak maksud bikin kamu mikir gitu. Ya udah, yuk ke sana sekarang!" selaku sembari menggenggam jari-jarinya. Kacamata bulatku kunaikkan karena merosot saat hidungku basah. Padahal sudah pukul dua, tapi gamis hitam yang kukenakan membuat keringatku terus menetes.

Di perjalanan aku hanya diam, sesekali melihat persawahan yang jarang ada di kota. Sedangkan Adira melantunkan lagu yang baru ia perdengarkan padaku kemarin malam.

Coretan Kritik SosialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang