08 - Fathers

345 64 71
                                    

Khun Eduan dan Arie Hon duduk tenang di pinggir sungai menunggu umpan pancing mereka dilahap ikan. Kerap kali kepala diangguk-anggukan mengikuti irama dari lagu yang diputar, Thriller dari Michael Jackson.

Lagu terkenal dari King of Pop diputar pada volume tertinggi. Sengaja sebab Eduan dan Hon tak ingin memancing dalam keadaan sepi.

Setidaknya memutar lagu keras-keras akan membuat mata tetap terbuka dan tidak mengantuk.

"Aw!"

Eduan mengangkat satu tangan yang tidak memegang pancing, sembari menjerit sok seksi mengikuti gaya menyanyi Michael Jackson

"Eduan, anak-anak melihat kelakuan anehmu. Hentikan!" tegur Hon.

Tidak seperti Eduan, Hon sangat menjunjung tinggi harga diri. Sangat berbanding terbalik dengan sang sahabat yang sering bertingkah tak tahu malu.

"Aneh apanya? Aku hanya menyanyi dengan ekspresif, Hon!" sangkal Eduan. Dia tak terima perbuatannya menirukan sang King of Pop disebut aneh oleh Hon.

"Cih! Ingat umurmu bodoh!"

"Apa kau bilang?!"

Dua orang laki-laki paruh baya mulai beradu mulut. Sama sekali tidak ingin kalah dari lawan bicara hingga pertikaian mereka berlangsung lama. Umpan pancing tak kunjung dimakan ikan, membuat adu mulut mereka tak terganggu sama sekali.

Anak-anak dari kepala keluarga Khun dan Arie yang berada di sekeliling tak berniat untuk melerai Ayah masing-masing. Datang ke sini untuk menemani Ayah mereka memancing saja sudah malas, apa lagi jika harus melerai adu mulut tentang masalah tidak berguna.

Para anak berada di sebelah kanan Eduan dan Hon. Duduk berjejer di atas karpet bermotif bunga bersama. Dari kanan ke kiri : Hachuling, Ran, David, Anna, Albelda, Cherise, Hoaqin, Aguero, Vicente. Kesembilan orang ini memegang pancingan milik sendiri dengan malas-malasan.

"Aku rindu game-ku," gumam Hachuling lemas. Wajahnya tampak begitu nelangsa. Jika bukan karena ancaman sang Ayah, anak sulung Khun Eduan ini pasti menikmati harinya dengan bermain game seperti biasa. Eduan memberi ancaman akan menghancurkan seluruh komputer dan peralatan gaming-nya, tentu Hachuling langsung menuruti apa pun kemauan sang Ayah demi keselematan barang-barang kecintaannya.

"Aku heran. Kau selalu main game, tapi kenapa matamu tidak minus?" Albelda menanggapi. Satu tangannya memeluk lutut yang ditekuk sebagai sandaran untuk dagu. Sama seperti Hachuling, dia juga malas. Sangat malas. Andai Hoaqin tidak seenaknya mengangkutnya ke dalam mobil secara paksa, detik ini Albelda pasti sedang menonton acara televisi bersama sang Ibu. Kakak sulungnya itu memang sangat kurang ajar dan seenaknya sendiri.

"Setiap hari aku makan wortel. Hari ini jus wortel, besok sup wortel, lusa tumis wortel, dan begitu seterusnya." jawab Hachuling sambil tersenyum bangga setelah menjelaskan rutinitas makan wortel dan berbagai menu wortel yang dia makan.

"Memang enak ya setiap hari makan wortel?" anak paling kecil di antara mereka bersuara, Arie Anna. Bocah perempuan yang memegang pancing sambil memeluk boneka menatap Hachuling penuh tanya.

Hachuling menggaruk-garuk pipinya pelan, "Yahh... untukku enak. Tidak tahu kalau untuk kalian," jawabnya.

"Lebih enak makan jeruk dari pada wortel. Benar kan, Ran? Wortel rasanya aneh!" ujar David sambil menatap pada Hachuling yang kini memperhatikan permukaan sungai.

"Benar. Aku tidak paham mengapa Kak Hachuling sanggup memakan wortel yang rasanya aneh setiap hari," Ran mendukung pernyataan teman sekelasnya, Arie David.

"Rasa wortel tidak aneh!" Hachuling tidak terima.

Mereka lalu fokus pada pembicaraan masing-masing. Hachuling, Ran, dan David melanjutkan pembicaraan tentang rasa wortel. Albelda dan Anna membicarakan seberapa banyak ikan yang akan mereka dapatkan hari ini. Sedangkan Hoaqin, Vicente, Cherise, dan Aguero berada dalam situasi diam.

𝐒𝐄𝐐𝐔𝐎𝐈𝐀 ✦ ᴋʜᴜɴ ᴀɢᴜᴇʀᴏ ᴀɢɴɪs ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang