mingi berpikir pendek, tidak memikirkan nasib maxwell jika sewaktu-waktu ia ada jam kuliah.
kemana anak itu akan dititip. mingi bodoh.
sedari tadi dia mondar-mandir sambil menggigit telapak tangannya yang terkepal.
maxwell yang melihat papinya seperti itu hanya melirik sekilas lantas kembali fokus ke mainan barunya yang beberapa hari lalu mingi belikan.
"aduh maxwell ini gimana?? kamu nanti sama siapa kalau papi kuliah?" mingi duduk dengan gusar di tepi ranjang.
namanya juga anak kecil, maxwell mengabaikan pertanyaan sang papi.
di tengah berpikir tiba - tiba ponselnya berdering. telfon masuk dari sahabatnya.
"gua di depan, buka pintu anjir!"
alis mingi mengernyit. "ngapain lo kesini?"
"elah banyak bacot, bukain dulu ini gece!!"
"ck, iya iya."
udah pusing mikirin bayinya, sekarang ditambah sahabatnya datang sembari misuh-misuh.
"maxwell tunggu sini bentar." mingi melesat pergi dari kamar.
pintu kebuka, yang mingi lihat pertama ada muka asem sahabatnya.
"kenapa sih, yun?" mingi berkeluh.
iya, yunho yang berkunjung. memangnya sabahat mingi siapa lagi kalau bukan lelaki jangkung satu itu.
"kapan-kapan kasih tau passwordnya ke gue, males gue nungguin orang lelet kek lu."
selalu begini, setiap mereka ketemu pasti diawali dengan yunho yang mengoceh macam ibu-ibu.
namun anehnya persahabatan yang mereka bangun selama 7 tahun itu tetap utuh. padahal kalau mereka mau ngikutin ego masing-masing, mungkin dari dulu persahabatannya sudah ancur di tengah jalan.
memang sih mereka tidak berantem seperti adu jotos, paling adu bacot.
dan berakhir mingi yang selalu ngalah, seperti sekarang...
"iyaa yunho."
"dah badmood duluan gue tuh." setelah berucap seperti itu, yunho langsung menerobos masuk ke unit apart mingi.
"dih?" mingi mengedikkan bahunya. dia tau yunho ga bisa badmood lama-lama, bentaran juga cengengesan sana sini lagi. paham mingi tuh.
sesampainya di ruang tengah mingi melihat yunho yang sedang memainkan ponselnya. dia ikut duduk di sampingnya.
"ngapain ke sini?" mingi mengulang pertanyaan yang ia tanya lewat telfon tadi.
"lagi libur, makanya gue ke sini," jawab yunho, tak mengalihkan pendangannya pada benda persegi panjang tersebut.
yunho tidak kuliah seperti mingi, melainkan langsung bekerja, ia tidak ingin repot-repot pusing mikirin tugas. lebih baik waktunya ia habiskan dengan bekerja, menghasilkan uang pula, pikir yunho.
berbeda dengan mingi yang tinggal di apartemen, yunho memilih tinggal sendiri di rumah minimalis yang ia beli pakai uangnya.
di tengah asik mengobrol, tiba-tiba suara tangisan maxwell mengintrupsi keduanya.
mata mingi langsung tertuju ke arah kamar lalu ia lari secepat mungkin.
yunho yang bingung hanya mampu ikut menyusul mingi. dan betapa kagetnya dia saat menemukan bayi laki-laki di kamar sahabatnya.
pikiran buruk mulai menguasai otak yunho.
"g-gi ... ini anak siapa?"
"bukan anak gue, ini gue nemu di jalan," balas mingi dengan panik, jadi dia asal jawab tadi.
setelah dicek, ternyata maxwell ngompol.
"ish, udah sini gue aja." yunho sedari tadi menontoni mingi menggantikan pakaian maxwell dengan sangat lelet, menjadi geram. yunho benci orang lelet, dan sialnya sahabatnya sendiri seperti itu.
menepis legan mingi lantas menggantikan tempat duduk mingi.
"namanya siapa, gi?" tanya yunho sembari mengusap pipi maxwell menggunakan telunjuk lentiknya.
"m-maxwell."
"hai maxwell." sapaan yunho dibalas senyuman.
selesai menggantikan pakaian, jari - jari yunho bermain di wajah maxwell. "aish lucuu, buat gue aja ya gi?"
"cih, apa-apaan! anak gue itu."
"bagi dua," balas yunho enteng.
"meh."
mingi membelalakan matanya saat menyadari sesuatu.
"yunho, bantuin gue please!!" pekik mingi di tengah - tengah keheningan.
"apaan sih?" gubris yunho.
"jagain maxwell selama gue kuliah," jawab mingi.
"terus kerjaan gue?" yunho balik menannya soal pekerjaannya nanti jika ditinggal begitu saja.
"libur aja!"
kepala mingi ditoyor yunho karena balasan tak masuk akalnya barusan.
"dikira gue babu lu?!" cetus yunho dengan sewot. enak aja maen ngatur-ngatur.
mingi diam sebentar sebelum kembali berbicara. "yaudah yaudah, gini aja ... mulai sekarang lo tinggal di sini, terus lo berhenti kerja. fokus ngurus maxwell aja. oke?" ujar mingi memberikan penawaran.
"terus rumah gue?"
"jual," balas mingi. "biar gue aja yang kerja. lo cukup di sini, jagain maxwell."
"ih, kenapa ga pacar lo aja??" yunho kembali merengut.
"mikir dongo, ntar kalo dia yang jagain, apa kata tetangga gua, ha?!"
mingi tidak ingin nama baiknya tercoret dengan alasan abal-abal seperti 'cowo ga bener, dia ngehamilin anak orang.'
"ya? please? bantuin gue, yuuunn. kesian itu maxwell masa gue tinggal sendirian kalo gue ada jadwal. lagian tadi katanya lo mau maxwell? yaudah ambil aja, tapi jangan dibawa pergi. ngurusnya di sini aja ya? pleasee?? oke?" bujuk mingi sembari memasang tampang semelas mungkin.
yunho yang memang sudah terlanjur nyaman dengan maxwell, dengan berat hati akhirnya menyetujui permintaan mingi.
"hidup lo semua gue tanggung. lo berhenti kerja," jelas mingi.
"bener ya? awas lo!" yunho memberikan tatapan tajamnya.
"ho'oh, tenang aja. lusa pindahin barang-barang lo ke sini."
"oke. oiya, maxwell manggil lo apa?" yunho bertanya.
"papi. tapi sewaktu-waktu gua bakal ajarin dia buat manggil kakak aja," tutur mingi yang masih ogah dipanggil 'papi'
kini yunho beralih ke maxwell. "yaudah, maxwell panggil aku papa aja yaa."
"kenapa ga mami?" celetuk mingi yang dihadiai headshot bantal dari yunho.
"gue masih cowok, sat!" balasnya berseru. sedangkan mingi hanya tertawa puas.
KAMU SEDANG MEMBACA
parents ' minyun ✔
Fanfictionsepasang sahabat yang kehidupannya didatangi oleh bayi laki-laki yang sekarang berstatus sebagai anak mereka. di satu sisi mingi menjadi orang tua, namun di sisi lain ia juga mempunyai kekasih. s, smg ! u, jyh !