Hanya Shin Ju dan Seokjin Saja?

5 3 0
                                    

“Apa saja yang perlu dibeli?”

Aku menoleh pada Seokjin yang berada di sampingku. Sambil membawa tas belanja, ia berjalan mengimbangi langkahku yang kecil ini. Meski sempat mengatai lambat, tapi tetap saja ia tidak meninggalkanku.

Inilah untungnya jadi orang lokal yang memandu pendatang. Apapun itu ceritanya, sangat sedikit orang pendatang yang berani mendahului pemandu saat sedang berkeliling. Apalagi seperti saat ini, kami sedang berkeliling pasar untuk berbelanja bahan masakan sesuai permintaan dari bibi Kim.

Katanya supaya aku dan dua keponakannya makin akrab berteman. Yah, omong-omong tentang dua keponakannya bibi Kim, si pria alien Taehyung tidak jadi ikut karena masih tidur. Jadilah aku di sini dengan Seokjin saja yang berbelanja.

“Di sana, ayo beli cabai dulu!” ucapku sambil menunjuk ke arah penjual cabai lalu berjalan ke sana. Seokjin mengekori di belakangku.

Lihat saja anak kota. Aku akan mengajarinya beberapa prinsip untuk hemat dalam belanja.

Ahjumma, igo olmayeyo?”

“65 won saja, ini masih segar.”

Prinsip pertama, menawar! Tawarlah semua harga barang selagi kamu bisa.

Ssalgehe juseyo...” pintaku sambil membuat wajah sedikit imut. Tapi nampaknya ahjumma itu tidak bergeming sedikit pun.

Kulirik Seokjin sekilas. Sesaatnya aku langsung sadar bahwa Seokjin adalah umpan yang bagus. Segera ku sikut pelan pinggangnya sambil memberi kode untuk membantuku.

Mengerti maksudku, Seokjin pun maju satu langkah ke depan lalu berbisik singkat pada sang penjual. Entah apa yang dikatakannya, yang jelas semenit dari itu penjual cabai pun langsung tersenyum dan membungkus cabai yang ku inginkan. Plus dengan tomat, bawang serta beberapa sayur lainnya.

Bukan itu saja. Bahkan kami pun bisa bawa pulang belanjaan dengan harga sangat murah bagiku. Cuma 10.000 won saja! Daebak!

Setelahnya Seokjin menyuruhku untuk pergi duluan ke toko sebelah yang kebetulan menjual daging ayam. Memang bibi Kim juga menulis ayam dalam daftar belanjaannya. Maka aku pun menurutinya saja. Entah apa yang akan lakukan aku tidak perduli.

Selepas membeli ayam, kulihat Seokjin sudah menungguku dengan tangannya yang terlipat di dada.

Celana jeans-nya yang nampak pas di kaki panjangnya serasa mengimbangi kaus putih yang menutupi bahu lebarnya itu, sempat membuatku sedikit heran. Bagaimana bisa orang mau ke pasar saja terlihat keren sepertinya? Membandingkan diri dengan apa yang kupakai mendadak rasa malu dalam jiwaku menyeruak.

Sweater coklat dan training kebesaran warna abu-abu, serta rambut yang dicepol asal. Ah, aku merasa malu. Jika tahu ke pasar saja Seokjin bisa begitu keren, seharusnya aku memakai gaun saja tadi. Paling tidak seharusnya kusempatkan waktu sedikit untuk mandi.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku sengaja memberi jarak sedikit dengan Seokjin. Khawatir kalau-kalau bau badanku yang masih bau bantal tercium olehnya.

“Kenapa jauh-jauh?” tanya Seokjin sembari jalan mendekatiku.

Refleks kakiku makin menjauhinya. “Jangan dekat-dekat!”

“Kenapa? Aku bau?” Seokjin mengangkat tangannya lalu mengendus-endus bagian ketiaknya. “Tidak bau, kok. Aku tadi sudah mandi, pakai parfum juga.”

Aku tahu itu. Mana ada orang yang belum mandi bisa sewangi dan setampan dirinya. Ugh, aku bisa frustasi dalam jangka dekat hanya karena menahan malu.

2 TASTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang