Katakan Saja Kalau Tidak Suka

0 0 0
                                    

Memang ya, kalau suatu nikmat itu akan terasa kalau sudah berlalu. Suatu nikmat akan jadi berkesan saat tiba waktunya mengenang dan juga nikmat itu akan terasa kalau cuma angan.

Padahal saat nikmat itu sedang jalan beriringan dengan kita tiap detiknya, pasti selalu saja ada rasa tidak tahu diri yang melingkupi hati. Mata juga buta kalau Tuhan sudah memberi kita apa yang sebenarnya baik untuk kita saat itu. Namun, bukannya bersyukur malah mengeluh terus. Nah saat Sang Pencipta mengambil kembali apa yang diberi langsung deh mencerca dalam hati salahku apa ya Tuhan? Atau nanti, Kenapa mesti begini hidupku? Dan bisa juga, lalu sekarang aku harus bagaimana?

Andai manusia bisa melihat Tuhan. Maka saat mengeluh begitu yang pertama dilihat manusia bukanlah tatapan kasih mengiba dari Pencipta, melainkan tatapan murka. Kalau manusia juga diberi berkah untuk bisa bercakap-cakap langsung pun, pasti beginilah yang akan menggema di dua belah kuping setiap insan, “Diberi nikmat malah tidak bersyukur, begitu Ku ambil justru menggerutu tidak senang, minta dikembalikan apa yang sudah berlalu. Mengapa hamba-Ku sekarang begitu melucu tentang kehidupannya sendiri?”

Haahh....

Sungguh kalau mengingat hal itu aku merasa malu telah lahir ke dunia sebagai manusia yang lengkap jiwa raga dan sempurna akal pikirannya. Aku ingin bisa bersyukur untuk apa yang telah berlalu, untuk hari ini juga untuk apa yang akan datang tanpa perlu cemas apa yang terjadi atau apa yang menanti.

Aku ingin setiap pagi terbangun dengan rasa syukur yang memenuhi hati juga senyuman lebar terpatri pada wajah bantalku.

Tidak seperti kemarin-kemarin, terlebih dengan hari ini. Sudah seminggu ini aku mengawali hari bersama rasa tidak nyaman pada jiwaku. Membuatku mengukung diri dari yang lainnya, termasuk nenek.

Aku hanya di kamar. Kalau keluar paling juga karena mau makan dan buang hajat. Hey, aku juga tetap mau hidup walau rasanya malas. Pernah dengar semboyan hidup segan mati tak mau? Nah, mungkin aku dalam posisi begitu.

“Shin Ju-ya, Shin Ju-ya, tolonglah nenek sebentar!”

Suara nenek yang terdengar dari luar membuatku bangkit dari posisi berbaringku lalu keluar kamar menghampirinya yang tengah duduh di meja makan dengan tangannya yang memijit kepalanya. Sesekali kulihat nenek merintih juga mengeluh sakit.

Segera ku hampiri nenek. Aku panik, sejak terakhir kali aku melihat nenek terlihat kesakitan dan itu sudah sangat lama. Nenekku memang tua usianya juga perawakan badannya, tapi siapapun yang telah mengenalnya pasti mengerti kenapa nenekku selalu terlihat muda. Tenaganya, semangatnya, nenekku tidak pernah mengeluh dan hari ini aku melihatnya begitu membuatku merasa tercabik.

Mungkinkah ini karena aku yang mengurung diri di kamar dan tidak membantu nenek? Aku menyesal.

“Tidak apa, Shin Ju-ya. Ini cuma kelelahan,”

Nenek mengelus kepalaku yang terduduk menangis di pahanya. Aku khawatir sekali. Sesekali terisak dan menarik ingusku yang hampir meleleh keluar, aku bertanya pelan pada nenek, “Nenek,maafkan aku ya. Sekarang Nenek tenang saja, aku akan bekerja dan melakukan seluruh pekerjaan rumah. Maka dirimu tidak akan kelelahan lagi.”

Nenek terkekeh. “Tidak perlu sampai begitu, aku hanya minta bantuan untuk menjemur pakaian dan berbelanja sedikit ke pasar, Shin Ju-ya, lagi pula...” nenek mengelus kepalaku lagi kemudian melanjutkan kalimatnya, “Lagi pula kau mau bekerja apa?” nenek tertawa hingga keriputnya tercetak jelas membingkai wajah tuanya yang tetap cantik. “Kau itu tidak bisa apa-apa, Shin Ju-ya. Nanti kalau sudah siap langsung menikah saja.”

Baiklah. Walau terlihat sakit, sifat jahil nenekku tidak berkurang ternyata.

———

“Taehyung, kau mengagetiku!” teriakku pada manusia yang sekarang sedang terkekeh geli sebab merasa berhasil membuatku terkejut.

2 TASTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang