Sebuah Drama Malam Hari

0 0 0
                                    

Sudah lebih dari sejam aku berbaring mencoba tidur masih juga belum menemukan posisi yang nyaman.

Dari baring arah kanan lalu ke kiri. Kemudian duduk, telentang juga telungkup. Menungging hingga kayang sepertinya akan ku coba sebentar lagi kalau rasa kantukku tidak juga datang.

Selain belum mengantuk, hatiku juga merasa cemas tidak menentu setiap detik sebab mengingat hal yang terjadi beberapa jam lalu.

Sudah kubilang jangan menyukai kakakku kan? Sekarang kau sendiri terkena imbasnya padahal kau juga tidak tau apa-apa. Aissh! Dasar hyung sialan. Sudah kuperingatkan jangan mendekatimu, tapi masih juga membandal!”

“Apa hakmu melarangnya mendekatiku? Lagi pula kami hanya berteman. Aku tidak menyukainya!”

“Tentu saja aku punya hak! Aku suka padamu, maka hak ku untuk melarang orang lain mendekatimu!”

“Apa?”

“Sudahlah, Shin Ju-ya. Aku ini lelaki waras. Aku bisa tau kau menyukai kakakku hanya dengan melihat matamu saja. Matamu terlalu jujur untuk gadis dengan mulut tukang bohong sepertimu,”

“Kau masih mabuk rupanya,”

“Tidak. Mau kubuktikan seberapa sadar aku sekarang?”

Perkataan Taehyung saat setengah mabuk menggema di kepalaku, membuat pipi kiriku yang memerah dan sedikit bengkak kembali merasa nyeri.

Iya, aku yakin dia masih mabuk saat mengatakan hal bodoh itu.

Aku ingat dengan baik dan jelas semuanya karena aku tidak minum begitu banyak, dan juga toleransiku terhadap alkohol termasuk tinggi. Aku adalah teman minum yang cukup hebat.

Lalu...

Mulut tukang bohong katanya? Kalau saja tadi tidak sedang shock pasti sudah ku tinju mulutnya itu. Taehyung itu, mulutnya bisa manis dan kasar di waktu yang bersamaan. Sialan sekali!

Entah bagaimana mulanya, yang jelas sesuai kata Taehyung siang tadi. Ia benar-benar ikut dengan kami–aku dan Seokjin untuk makan bersama.

Sesuai kesepakatan pula, aku dan Seokjin saling mentraktir kecuali dengan adiknya itu. Taehyung ditanggung Seokjin setelah ia merengek seperti anak kecil yang minta dibelikan mainan, dan Seokjin dengan mudah tanpa beban mengiyakan saja. Kadang aku berpikir bagaimana bisa Seokjin bersabar dengan adik semacam Taehyung. Kalau aku sedari dini pasti sudah kucampakkan ke Sungai Han biar dimakan paus!

Cuaca malam yang cukup cerah dan tidak berawan seperti menemani kami bertiga dengan ramah. Angin juga bertiup pelan tidak menimbulkan rasa dingin. Kami bertiga sudah cukup hangat dengan pakaian masing-masing dan beberapa mangkuk udon sesuai selera masing-masing di meja.

Dentingan suara gelas berisi soju yang beradu makin menambah suasana ramai di kedai saat itu. Kami sesekali tertawa sebab tingkah Taehyung yang lucu.

“Berterima kasihlah padaku, wahai kalian berdua!” ucap Taehyung menyombongkan diri di hadapan kami.

Aku mengangguk kemudian berdiri dan membungkuk sedikit ke arah meja sang bibi penjual makanan lalu berkata dengan sopan, “Bibi terima kasih atas kimchi tambahannya. Kau sangat baik sekali pada kami,”

Bibi penjual pun hanya membalasku dengan senyuman ramahnya. Sementara Taehyung melotot tidak senang.

“Seharusnya kau berterima kasih padaku!” cecar Taehyung dengan mulutnya yang dimanyunkan.

Aku dan Seokjin terkekeh geli melihat sikap Taehyung, sama sekali tidak berniat membalas perkataannya. Mentang-mentang bibi penjual itu memberi kimchi tambahan karena senang dengan sikap Taehyung yang dianggapnya menggemaskan pada usianya itu, bukan berarti berterima kasih pada Taehyung adalah hal wajib. Bibi penjual yang membuatnya bukan Taehyung, dan lagi Taehyung sedang sedikit mabuk sebab banyak minum soju.

2 TASTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang