| part 1

18.3K 1.4K 106
                                    

Disinilah Ara sekarang, menyesali kecerobohannya dengan menangis dikost setelah membahas perjanjian bersama Ardi tentang pelunasan biaya bengkel mobil mewah yang Ara serempet tadi pagi.

Orang bodoh juga tahu, jika mobil mulus yang lebih glowing dari wajahnya itu adalah mobil mahal.

"Apa gue ngepet aja ya?" Ara bertanya pada diri sendiri.

"Anjirr gue kenapa sih?! Ngepet mulu pikirannya," decak Ara memukul kepalanya sendiri.

Tujuh juta bukan uang yang sedikit. Ia bisa membayar uang SPP selama satu semester. Pikiran Ara semakin semrawut dan bercabang, bagaimana ia menyelesaikan masalah ini.

Ada empat opsi dalam pikiran Ara sejak membahas berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya bengkel.

Pertama. Ngepet.

Kedua. Jual diri.

Ketiga. Babu.

Keempat. Polisi.

Opsi pertama sangat mustahil dilakukan. Emang zaman sekarang masih ada orang yang ngepet? Dari tadi pikirannya ingin ngepet terus padahal ia tahu itu mustahil dilakukan.

Opsi kedua tak pernah terbayang selama 19 tahun hidup Ara. Apa ia sanggup menanggung malu dan cemoohan orang-orang nantinya? Apalagi sampai ia hamil. Oh my—Ara tak bisa membayangkan betapa kecewanya Ayahnya padanya.

Dan opsi ketiga, Ara yakin namun ragu. Tapi hanya inilah opsi yang meyakinkan dan tepat untuknya. Jadi babu selama satu semester tidak buruk'kan? Atau sangat buruk?

Untuk opsi keempat, jelas Ara menolak. Siapa sih yang mau berserah diri ke polisi selagi ada harapan untuk tak masuk jeruji besi. Ara tak bisa membayangkan jika dimasa depan ia mendapat gelar narapidana ketimbang sarjana.

"Fiks emang paling bener gue jadi babu," ujar Ara lirih.

Ara mengambil tisu lalu membuang ingus. Hidungnya sangat sumbat sehingga susah bernapas. Ara kembali menangis saat menonton tragedi tadi pagi. Ardi memberinya sebuah flashdisk yang berisikan video cctv parkiran dimana ia menyerempet mobil mewah tersebut.

"Hiks ... apa gue bunuh diri aja?" tanya Ara pada diri sendiri.

"Ya ampun itu dosa Ra," ucap Ara meringis lalu kembali menangis.

"Yang ada gue masuk neraka tanpa di interview malaikat."

Semakin sering ia menonton video itu, semakin sedih pula dirinya. Bantalnya sudah basah oleh air mata. Tong sampahnya penuh dengan tisu bekas ingus dan air mata. Betapa menyedihkannya Ara saat ini.

Ara menarik napas sendat-sendat melalui hidung. Menutup laptopnya tanpa dimatikan lebih dulu. Ia butuh penyegaran. Mandi adalah pilihan paling tepat saat ini.

"Masukin kepala di ember bikin mati nggak sih?" Ara bergumam.

***

"Halo Yah," sapa Ara sebagai permulaan.

"Halo anak Ayah," sahut Ayah Ara. "Loh suara kamu kenapa Ra?"

Padahal Ara baru menyapa namun Ayahnya tahu ada yang berbeda dari suaranya. Insting orang tua memang tajam pada anaknya.

"Enggak papa Yah. Aku cuma kena flu." Bohong Ara. Rasanya ia ingin menangis sekarang.

"Ya ampun Ayah khawatir. Tapi kamu nggak papa'kan?"

"Ara baik-baik aja Yah."

"Loh kok jadi nangis sih?" tanya sang Ayah khawatir.

"Kangen," jawab Ara mulai sesegukan.

Ardi & Ara [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang