Ingatan Sialan-15

99 17 3
                                    

Anak berusia lima tahun itu masih di ruangan, bermain dengan pensil warna di mejanya meski kelas sudah selesai. Sekolah Interuios memang lebih suka mengajarkan anak-anak praktek mewarnai menggunakan tangan bukan Grewt—alroji yang bisa berubah bentuk dan mempunyai sistem canggih— bisa pensil warna maupun krayon. Anak-anak lain mungkin akan menyukai pelajaran menyelam seperti yang mereka praktekan minggu lalu, menyelam lewat danau buatan, ya buatan karena itu hanyalah efek hologram buatan para petinggi Saveta. Tetapi, anak berambut hitam dan kurus lebih suka menyelam danau sungguhan. Ada air, ikan, batu dan arus sungguhan bukan seperti yang diajarkan.

Seorang wanita berpakaian jumper abu-abu berlogo Interuios masuk, "Sudah gambarnya? Boleh ibu lihat?"

"Belum selesai," kata anak berperawakan kurus.

"Benarkah? Kukira sudah, karena ini melebihi jam sekolah, bisa kaulanjutkan di rumah, okey," kata wanita tersebut mengambil kertas gambar.

"Belum selesai, belum!"

Kertas itu dilihat si wanita, terkejut dengan hasil gambaran sambil menatap muridnya, "Kau menggambarnya? Ini apa, Rhys?"

"Saveta," kata anak lima tahun itu mendongak.

Saveta memang belum merdeka, tetapi tidak ada yang menginginkan planet itu menjadi penuh darah, api di mana-mana, hebatnya bukan karena larva gunung, ada seorang yang berdiri di tengah kobaran api, sosok hitam, seolah menoleh ke arah siapapun yang melihat gambaran itu. Sang guru buru-buru melipat kertas dan memasukkannya ke dalam tas muridnya.

"Sekarang, pulanglah dan istirahat. Jangan lupa minta petugas mengantarkanmu lewat jalan yang aman, sampai jumpa besok."

Murid bertubuh kurus itu mengenakan tas ransel warna hitamnya dan keluar dari kelas setelah mengangguk. Ia berjalan lurus ke ujung lorong yang tak lagi ada penerangan, perlu melangkah beberapa meter dan bertemu beberapa orang penjaga yang memakai atribut lengkap. Tanpa diminta salah satu dari mereka mendekati Rhys dan memimpin jalan, melewati  bangunan-bangunan yang kosong, jalanan dipenuhi sampah berserakan dan layar-layar bolong akibat tembakan.

Bus warna kuning sudah menunggu di dekat taman buatan, pemimpin jalan mengetuk punggung Rhys dan menunjuk ke arah bus, mengisyratkan jika Rhys sudah bisa naik sekarang lalu pulang. Hanya ada delapan anak termasuk Rhys naik bus terakhir, sopir bus sudah menanyai pemimpin jalan apakah ada anak tertinggal di dalam? Setelah dapatkan jawaban, bus segera melaju melewati terowongan, tidak ada obrolan atau pertanyaan sepanjang jalan, yang ada hanya berita dari layar mungil di dekat kemudi yang terus mengoceh memberitakan perkembangan terkini.

Anak-anak diturunkan di sebuah halte dekat perkampungan pengungsi, ya, warga meninggalkan rumah beserta harta benda karena serangan bertubi-tubi tiga pekan yang lalu. Takut akan diserang lagi, maka mereka mengungsi di sana, rumah mereka tentu saja berbeda dengan sebelumnya, rumah pengungsi dikhususkan anti serangan. Akses masuknya saja menggunakan sidik jari para penghuninya, pintu pertama kamp lima delapan terbuka, seketika menutup setelah lima detik, kemudian masih ada pintu lagi yang menggunakan akses yang sama. Barulah bagian rumah terlihat, sama seperti kediaman pada umumnya terdapat kamar, ruang tamu lumayan luas, ruangan dapur, mandi dan mencuci dijadikan satu tentunya dengan fasilitas canggih.

"Kau sudah pulang, Nak? Bagaimana sekolahmu?"

"Biasa saja, Mam," jawab putranya singkat.

"Ibu buat makaroni keju kesukaanmu, masih hangat. Habiskan dan istirahatlah, Rhys."

Mangkuk putih yang tak rapi bentuknya dihidangkan di meja, uapnya masih mengepul dan benar taburan kejunya memenuhi mangkuk, kesukaannya juga sang papa. Matanya menatap kursi di seberang, kosong semenjak serangan tiga pekan lalu.

"Mam," panggil Rhys sembari menyendok makaroninya.

"Ya," jawab mamanya dari ruangan seberang.

"Sudah ada kabar dari papa?" tanya Rhys.

"Belum, belum ada. Mama masih terus berusaha menghubunginya, tenang saja," kata mamanya menghibur.

Rhys tak menghabiskan makan siangnya, hanya mengambil sisa parutan di ujung yang seperti bongkahan berlian seraya meninggalkan meja ke ruangan pribadinya. Ia melepaskan tas,  mengeluarkan alat sekolah dan membuka lipatan kertas gambar yang dikerjakan di kelas tadi. Ia menempelkan selotip di empat sisi kemudian melangkah mundur, gambarannya sudah banyak dan semuanya seperti sebuah cerita mengerikan.

"Kau menggambarnya lagi?" tanya suara mamanya dari belakang.

"Ya," jawab Rhys.

"Kenapa kau suka sekali menggambar begitu akhir-akhir ini? Ada banyak gambaran yang bisa kau gambar selain itu, tak harus begini," kata mamanya.

"Aku menggambar sesuai yang kuinginkan, apakah itu buruk?"

"Tidak buruk. Kau anak yang cerdas dan pintar menggambar, Rhys. Mama dan Papa ingin kau masuk Interuios Institute seperti jejak papamu, tak muluk bukan?"

"Aku ingin lebih, Ma. Aku ingin menjadi pemimpin Saveta. Aku ingin masuk ke Mage bukan Interuios," kata Rhys.

Mama Rhys memasang gambar putranya lalu membantu Rhys untuk mengganti pakaian lalu lanjut tidur siang. Rhys rebahan sambil mengamati gambarannya, sungguh mimpi yang besar untuk sekadar sebuah lukisan. Lama rasanya ia memperhatikan hasil gambaran lewat sisi, sampai matanya lelah dan menyerah pada mimpi.

Rhys tersentak bangun, melihat sekelilingnya yang sudah berantakan. Bahkan gambaran-gambarannya sobek, pesawat rasanya begitu dekat dan mereka yang bicara lewat pengeras suara tampak panik dan saling memanggil. Rhys perlahan bangun, turun dari ranjang dan mencari sosok mamanya, tetapi tak menemukannya di mana pun. Rhys menempelkan tangannya di mesin pemindai, pintu terbuka otomatis, keningnya mengerut karena terheran-heran dengan apa yang dilihatnya.

Mereka semua, para pengungsi bergelimpangan di tanah, bersimbah darah tak bernyawa. Semakin Rhys melangkah, keningnya semakin mengerut, detak jantungnya bergetar, di luar sana semuanya berubah. Bukan lagi kamp yang dijaga oleh banyak petugas, tanah seolah bermandikan darah dan di sana, berdiri seorang anak lelaki yang membuat bola matanya serasa bisa mencuat keluar dari rongga. Di sana, bocah lelaki yang seluruh tubuhnya bersimbah cairan merah kental menetes membasahi sepatunya.

Bocah lelaki di sana menoleh ke samping, di mana Rhys berada. Mereka saling menatap, tanpa suara dan hanya angin perlahan mengibaskan aroma anyir menusuk hidung. Rhys gemetar mau pingsan, sementara anak itu di sana justru masih berdiri tegap seolah yang bergelimpangan di tanah hanyalah hewan peliharaan.

"Apa yang telah terjadi?" tanya Rhys lirih.

Anak yang masih di sana masih berdiri tenang, tak lama kemudian mulai bergerak, berlari sekencang mungkin seolah tak takut jika akan terpeleset cairan merah kental itu. Mereka tak mudah dilukai, jika benar bisa mati bukankah pasti menggunakan senjata super canggih? Rhys terjengkang lalu berbalik meringkuk tak peduli dengan apa yang akan terjadi, toh semuanya sudah lenyap bukan? Rhys berteriak kencang, menerka jika dialah korban terakhir, nyatanya?

Rhys masih mendengar detak jantungnya cepat bak genderang peranh, merasakan tangannya yang menindihi sebuah batu kecil bongkahan dinding. Namun, anak lelaki itu menangis sebab dirinya kini bersimbah darah dan lebig ajaibnya lagi tak menemukan siapapun kecuali dirinya, bersimpuh di tanah penuh darah dari mereka yang terbunuh.

"Bukan aku ... bukan aku ... ini semua bukan salahku, bukan ... bukaaan!!!" Rhys berteriak seraya menangis menghapus noda-noda dari tubuhnya.

Rhys tersentak. Detak jarum jam masih sama, iramanya tetap dan terus bergerak. Pria itu menarik napas dan mengembuskannya perlahan sembari melihat sekitar, jarum pendek jam beker sudah lepas dari angka dua, artinya ia tertidur lebih dari lima jam, mimpi yang begitu panjang hingga rasanya begitu lama berlalu. Rhys mengambil gelas kosong di meja dekat ranjang, kemudian mengisi air mineral mengira bisa melepaskan mimpi semasa kecilnya dulu yang masih terus menghantui.

"Ingatan sialan!"



To be continued ...







AbsquatulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang