Makanan Manusia-21

22 2 0
                                    

Rhyz tergagap bangun, sela tidurnya bermimpi soal hal yang tak ingin diimpikannya walau sekali lagi. Ia membenci mimpinya, sebab menampilkan siapa dirinya tanpa ditutupi oleh apa pun. Rhyz mengusap peluhnya yang bercucuran menggunakan tangan, suara itu masih saja mendominasi pendegarannya. Rhyz tak menyukai sisi kelam dirinya yang itu, sungguh membuat dunia begitu membencinya.

'Harusya mimpi sialan itu tak muncul lagi saat kau merasa lemah, kau tampak sperti orang tolol.' Suara itu menertawakan Rhyz.

"Seharusnya juga kau pergi meninggalkan aku sendirian, bukan memanfaatkanku begini." Rhyz merasa ingin menggaruk otaknya agar sisi kelam itu berhenti mengekorinya.

'Kau mau aku pergi? Harusnya kubawa dia sekalian ke neraka, bukan tak tahu di mana keberadaanya seperti ini.'

"Aku bersyukur dia dibawa menjauh dari kita, meskipun aku begitu merindukannya, dia lebih baik selamat bersama orang lain daripada brsama kita."

'Cepat atau lambat, kita akan menemukannya dan mengirim siapapun itu yang membantunya sembunyi ke neraka.'

"Kau mau mencelekai Zyliah tidak semudah intrikmu menyerang Saveta mengadu dombamereka yang tak tahu apa pun."

Suara itu terdengar tertawa, ah tidak, justru menertawai Rhyz, di matanya, Rhyz merupakan makhluk Saveta yang lemah. dahulu, saat mamanya mencoba menggenggam kendali atas Rhyz dialah yang memberontak.

Ryhz berteriak, berharap peredam suara itu berfungsi dengan baik agar tak menimbulkan situasi yang tak ingin ditimbulkannya. Rhyz bangkit dari ranjang, mengguyur tubuhnya hingga basah kuyub, membiarkan tubuhnya berada d bawah guyuran air pancuran sembari menelusuri bayangan wajah mamanya melalui ingatan. Ia tak menyukai tatapan mamanya saat terakhir bertemu, ada ketidakpercayaan, luka yang mendalam dan perih yang tak berujung.

Jauh di lubuk hati Rhyz tengah merindukan mamanya, tak menyukai perkataan semua warga Saveta. Kini semua itu telah jauh dari jangkauan Ryhz, berharap banyak jika suatu saat nanti apa yang telah berubah bisa kembali seperti semula.

•••

Grewt—gelang pribadi penduduk Saveta, pun berfungsi juga sebagai arloji super canggih yang bisa menampilkan profil dan banyak membantu pemiliknya saat mengalami hal-hal yang di luar kendali—Luca berwarna toska sebagian besar telah membantu penyembuhan. Anak lelaki itu sudah mampu bangun dan keluar dari kamar. Zyliah yang tengah membuat makanan pesanan beberapa orang dibantu Esteban. Pria itu segera menghampiri Luca, tampak begitu khawatir seperti mengkhawatirkan adiknya sendiri.

Luca mulai membiasakan diri untuk tinggal bersama dua makhluk Saveta lainnya. Ia cukup bersyukur menemukan dua insan Saveta yang baik budi, peduli dengan dirinya, bukan manusia Bumi yang haus uang dengan menjual keunikan dirinya di tenda sirkus. Luca bercerita jika dirinya dibiarkan istirahat beberapa jam saja, pun tak luput dari siksa yang tak dimengerti penyebabnya. Zyliah mendengarkan cerita Luca sambil mengemas makanan, pun ikut sedih betapa Luca mengalamni banyak hal buruk oleh manusia Bumi.

"Aku membenci manusia Bumi, Kak. Karena mereka aku yang terdampar di sini tak tahu bagaimana kembali menjadi seperti gelandangan."

"Tak semua manusia Bumi jahat, Luca ... kakak sudah bertemu dengan manusia Bumi yang mempertaruhkan nyawanya demi melindungiku."

Luca tertegun, "Benarkah ada manusia seperti itu?"

Esteban mengangguk sembari mendekap Luca, anak lelaki itu bergetar dalam tangis, tentu saja mertapi bagaimana nasib buruknya begitu membekas dalam diri. Esteban ingin sekali menemani Luca istirahat di rumah, tetapi ia lebih mengkhawatirkan keamanan Zyliah, pun menemani wanita cantik itu mengantar pesanan. Luca juga berkata jika akan istirahat saja selama keduanya pergi. Zyliah dan Esteban mulanya khawatir meninggalkan anak kecil sendirian di rumah, tetapi mereka menyadari jika Grewt pasti akan melindungi Luca jikalau ada apa-apa.

Esteban membawa tas besar berisi skotel pesanan, sedangkan Zyliah membawa tas lebih skecil, agar mereka tampak manusiawi dan tak menimbulkan pertanyaan manusia yang melihat. Gedung yang didatangi Zyliah sibuk oleh manusia lalu-lalang, sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Jika bukan karena Silas yang memesan makanan itu untuk sebagian besar karyawannya, pun leih memilih untuk menemui wanita paruh baya itu.

•••••
Luca bukan ingin kabur, tak ada alasan untuk melakukan itu sekarang, hanya saja Luca penasaran dengan obrolan dirinya dengan Zyliah dan Esteban soal manusia Bumi yang baik, bukan seperti yang dikenalnya selama ini. Luca bangun dari ranjang, menengok rumah yang memang sepi, lalu menengok lorong flat yag sepi meski semua flat berpenghuni. Luca menuruni lantai demi lantai menggunakan lift, hingga di lobi pun ia masih termangu, lama kelamaan ia pergi keluar, mengikuti ke mana kakinya melangkah.

Pada jam bekerja, semua manusia Bumi tampak sibuk, serba terburu-buru seolah besok adah hari kiamat. Terlebih lagi saat matahri menyingsing, para manusia mulai pergi dari rumah, ada yang sambil menghabiskan sarapan sambil menunggu di halte bus, pun ada yang sibuk berteleponan sampai bus datang. Para m,anusia masuk ke gedung-gedung bertingkat, bergerombol dan hebatnya Luca pensaran ingin masuk ke sana, sampai satpam menghentikan langkahnya, pun menyuruhnya keluar dikarenakan tak berkepentingan.

Luca berjalan tertatih lagi, dunia benar-benar sibuk seperti Saveta, bedanya di sini semua serba manual, di Saveta semuanya serba canggih, sebagian besar memanfaatkan teknologi mutakhir, semisal Grewt level terbaru.

"Bagaimana menurutmu Bumi, anak kecil?" tanya seseorang yang suaranya masuk ke telinganya, padahal tak ada seorang pun berada di dekatnya saat ini.

Luca melihat sekeliling, berharap banyak jika bukan manusia biadab itu lagi. "Kau siapa!"

Suara tawa yang renyah memenuhi pendengaran Luca, "Aku hanyalah seseorang yang sedikit sama dengan yang kaulihat, sedikit berbeda saja."

"Bagaimana kau bisa tersambung denganku sementara kita tak sedang berhadapan?" tanya Lucs penuh dengan sikap siaga.

"Aku bukanlah orang yang bisa kaucurigai, tak ada untungnya kau kubawa ke tempat sirkus."

Luca tersinggung dan masih sibuk mencari sosok yang tak diketahui keberadaannya. anak lelaki itu mulai muak dan meminta untuk siapapun itu keluar menunjukkan siapa dirinya. Suara itu lenyap, meski Luca berteriak memanggil, tak ada sahutan sama sekali.

"Kau mencariku, anak kecil?"

"Ya, kau berada di mana? Tunjukkanlah siapapun dirimu!"

Hening.

"Kau anak lelaki yang manis, Luca."

Luca melihat sekeliling, banyak manusia berjalan pada tujuannya masing-masing. Ia menjadi bingung bagaimana dirinya bisa tahu jika orang itu ada. "Kau di mana? Bagaimana rupamu?"

"Kau mencariku, Luca?" tanya seseorang berada di belakang Luca, seketika menoleh dan melihat jelas seorang pria berambut cokelat dan tampan.

"Siapakah kau ini, Tuan?"

"Kau mau sepiring cake cokelat? Atau semangkuk hayalan? Aku bercanda."

Luca hampir saja marah, tetapi tak jadi sebab melihat wajah pria itu begitu nyaman dilihat. "Aku tak akan percaya jikalau kau berkata seorang malaikat."

Pria itu tergelak, "Tadinya mau berkata begitu, tapi sungguh malaikat tak mau disandingkan denganku."

"Lalu kau itu apa? Kau tampak seperi mereka," kata Luca menuding salah satu manusia dengan telunjuknya.

"Bisakah kitya mencari tempat mengobrol? Bagaimana kalau cafe yang kudatangi tadi?" tawar
pria itu.

"Boleh. Namamu siapa?" tanya Luca.

"Panggil saja aku, Silas. Ayo," ajak Silas menuntun jalan.

"Silas. Hmmm nama yang bagus," komentar Luca.

Silas dan Luca berjalan beriringan menuju salah satu cafe yang ada di dekat sebuah gedung bertingkat. Mereka memilih meja yang tadi digunakan Silas sebelum menampakkan diri di depan Luca, memsan makanan dan minuman yang dijual manusia biasa.

To be continued ....









AbsquatulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang